Sabtu, 17 November 2007

''Babat Habis Para Koruptor!!!!!''


''Ironis, di negeri sekaya Indonesia ini, masih banyak kita temukan orang kelaparan. Di setiap sudut jalan, masih saja ada gelandangan dan anak usia sekolah yang menenteng kaleng dan mengamen. Siapa yang salah?''

Tritus Julan Sukarianto, begitu nama lengkapku sejak aku dilahirkan  tanggal 3 Agustus 1979 lalu. Dilahirkan dari pasangan Naionalis-Agamis ini, aku tumbuh besar menjadi anak yang harus berada pada posisi tengah dari latar belang orang tuaku.
Masa kecilku tak seceria masa kanak-kanak pada umumnya. Sejak umur 10 tahun, aku harus diasuh sendirian oleh ibuku, seorang wanita yang paling aku cintai di dunia ini. Bapakku yang hanya menjadi 'Oemar Bakre', berpulang ke syurga karena sakit yang dideritanya. Jujur, sampai hari ini aku menyesal karena meninggalnya bapak hanya gara-gara sakit yang bertahunptahun ia tahan. Entah karena takut biaya pengobatan yang tinggi, atau bapak sengaja tak ingin merepotkan anak-anaknya waktu itu.
Dari asuhan satu orang tua inilah, aku harus menjalani kehidupanku sendiri. Bahkan untuk menentukan pilihan besarpun, harus aku tentukan sendiri.
Namun kondisi ini justru membuat aku menjadi kuat. Dengan maksud tak ingin merepotkan orang tua yang hanya mengandalkan pensiunan, aku harus menjalani kehidupanku dengan penuh ujian. Dalam suasana apapun, aku harus menunjukkan kepada ibuku bahwa ku baik-baik saja.
Sejak SMA, aku merantau ke Surabaya. Di kota pahlawan itu, aku bertarung dengan kerasnya jaman. Hanya berbekal tekad, aku melangkahkan kaki untuk menuntut ilmu yang menjadi pilihanku itu. ''Sing sabar nak, urip adoh omah iku kudu kuat cobaan. Sing ati-ati. Ibuk percoyo kowe iso milah endi sing apik lan sing elek. Berangkato, pangestune ibuk kanggo kowe,'' begitulah seingatku pesan ibuk saat aku pamit sekolah di Surabaya tahun 1996 lalu.
Tak gampang hidup dari orang tua dan saudara. Aku harus mampu berdiri dengan dua kakiku sendiri untuk menjalani masa sekolahku itu. Uang Rp 20 ribu yang ibu berikan setiap minggunya, mau tak mau harus cukup. Aku juga sadar, berapa pensiunan bapak yang hanya menjadi guru SD itu.
Aku harus pontang-panting dari rumah saudara-saudaraku untuk memenuhi kebutuhan sekolahku yang tergolong mahal itu. Sementara aku juga terus berpikir, aku tak seterusnya harus mengganggu kehidupan rumah tangga sodara-sodaraku itu.
Dengan membuang jauh-jauh rasa malu, aku memilih untuk hidup di salah satu studio musik yang ada di Surabaya. Selain untuk mengembangkan bakatku bermain gitar, disitu aku juga mencoba mengais rejeki dari sekedar menjadi 'penunggu' studio, juga dari panggung ke panggung sebagai pemain band.
Beratnya sound panggung dan peralatan musik lainnya, harus aku pikul saat bekerja menjadi 'kuli sound' itu. Beruntung, dari sini aku sedikit bisa mengurangi beban orang tuaku. Meski jujur, berapa kali sehari aku makan, tak pernah terpikirkan olehku. Alhasil, aku tak pernah tumbuh gemuk.
Lulus SMA, justru membuat aku tambah bingung. Sementara jika berkeinginan melanjutkan ke dunia kampus, aku harus mengaca diri. ''Siapa kamu, mampukah kamu hidup diantara anak-anak kampus yang mengedapankan 'gengsi' itu?,'' pertanyaan-pertanyaan itu sering menggelayut dipikiranku. Rupanya keinginanku untuk menjadi sarjana waktu itu didengar oleh-NYA. Seorang gadis yang mengaku mencintaiku, memaksaku untuk kuliah. Tanpa kuketahui, aku didaftarkannya di salah satu perguruan tinggi yang baru berdiri di Mojokerto. Dengan pontang-pnting pula, aku menyelesaikan kuliahku di Fakultas Ekonomi Manejemen selama rnam tahun.
Lulus kuliah, lagi-lagi aku harus dipusingkan dengan pekerjaan. Dengan tanpa berbekal ilmu 'menulis', aku mencoba menjadi wartawan di Koran Harian SuaraIndonesia. Belum lagi jadi wartawan, aku kembali 'nganggur' karena perusahaan tenpat aku bekerja itu kolaps. Beruntung, nasib baik masih memihakku. Belum lama nganggur, aku kembali ditarik menjadi 
wartawan harian siang Jatim Mandiri. Di koran yang  dipimpin salah satu wartawan senior Surabaya Post itu, aku mencoba mengembangkan tulisan. Lagi-lagi, dewi fortuna berpihak kepadaku. Selain menjadi kuli tinta, aku jugaditarik menjadi Redaktur harian Surabaya Pagi. Meski gajiku tak cukup untuk memenuhi kebutuhanku sendiri, aku memberanikan diri untuk menikahi gadis 'Pesantren' yang bernama Diana. Perkawinanku rupanya mendapat ridho dari-NYA. Tak lama setelah menikah, aku berpindah menjadi wartawan Harian Koran Seputar Indonesia (SINDO). Disinilah kini aku bertahan, menjadi wartawan yang benar-benar harus mampu untuk menjalankan tugas Jurnalis. Semangatku untuk membantai pemerintah dengan kebijakan-kebijakan ngawurnya itu semakin berkobar. Aku bertekad, dengan sepuluh jariku ini, aku harus mempu menyuarakan rakyat-rakyatku yang masih tertindas. Jangan sampai kesulitan sebagai warga negara sepertiku, dialami generasi-generasiku nanti. Dan lagi, tak ada ampun bagi koruptor, yang menjadi pemicu miskinnya negaraku ini. (tritus julan)

0 komentar: