Thursday, 17 July 2008
Di balik ketidaksempurnaan fisik, keteguhan hati Wariat tidak pernah berhenti memancar.Dia nyaris tak pernah meninggalkan ibadah puasa sebagai bentuk syukurnya.
MIRING ke kiri, saat sudah terasa lelah, Wariat lantas membalikkan tubuhnya ke kanan. Gerakan inilah yang menjadi kebiasaannya setiap hari. Bukan karena malas, tapi dua kaki dan tangannya memang tak bisa digerakkan. Selain memiringkan tubuh di pembaringan itu, dia tak mampu melakukan gerakan lain.
Meski begitu, dia selalu terlihat ceria. Jarang terpancar gurat putus asa di raut mukanya. Seperti kemarin,wajahnya juga berseri-seri. Demikian adanya perangai wanita berusia 40 tahun itu.Meski tinggi tubuh tak lewat dari ukuran dengkul lelaki dewasa, dia selalu mengumbar senyum kepada siapa saja yang bersedia ’memanusiakan’nya.
Wariat adalah sosok wanita tegar.Fakta menunjukkan bahwa hidupnya tergantung dari orang lain akibat cacat fisik, tetapi dia selalu berusaha sekuat tenaga agar tidak merepotkan keluarganya. Ter bukti, biarpun tangannya tak bisa digerakkan dengan normal,dia ngototuntuk melatihnya.
’’Sakno sing ngrumat nek terus-terusan njaluk tulung. Kanggo mangan, kadangkadang nganggo tangan dewe (Kasihan yang merawat jika terus-terusan minta tolong. Untuk makan, kadang-kadang dengan tangan sendiri),’’ kata Wariat dalam bahasa Jawa, satu-satunya bahasa yang dia kuasai. Begitu juga saat mandi. Dia berusaha sekuat tenaga agar tak 100% dibantu orang lain.
Wariat memang tak bisa menghindari kenyataan bahwa dia harus digendong saat ke kamar mandi.”Setelah itu saya sendiri. Ya, pelan-pelan ambil air. Kalau selesai, saya minta tolong lagi digendong ke tempat tidur,’’ tuturnya, dalam posisi terbaring di pembaringannya yang kecil. Perilaku yang sama dilakukannya saat buang hajat.Wanita yang tak pernah bermimpi sembuh itu merasa sungkan jika orang lain ikut membantu aktivitas rutin yang menurutnya menjijikkan itu.
Dia melakukan sendiri buang air besar hingga kotoran itu bersih dari badannya.“Kalau saya terlalu merepotkan, takutnya mereka akan kapok merawat,”ujarnya. Seiring bertambahnya umur,Wariat tentu saja ingin tumbuh menjadi wanita yang normal secara akal.Termasuk menikmati keindahan banyak tempat.
Namun, karena telah berprinsip tak ingin ada banyak orang dalam kehidupannya yang ditimpa cacat fisik itu,konsekuensi itu secara otomatis terhapuskan. Dia masih ingat betul, sudah puluhan tahun tak pernah melihat indahnya pedesaan di pegunungan, tempat dia dilahirkan. Lantaran tak pernah keluar rumah, ia pun mengaku lupa dengan jalanjalan desa dan tempat yang pernah dilihatnya saat berumur kanak-kanak.
Meski begitu,Wariat lagilagi tak pernah mengeluh. Jika ingin melihat pemandangan luar rumah,dia melihatnya dari jendela yang berdekatan dengan tempat tidurnya.Bangunan Candi Jedong yang persis di depan rumahnya, menjadi satu-satunya objek yang menghiburnya tatkala keinginan untuk keluar rumah itu datang.
’’Saya senang kalau di bangunan candi itu ada banyak orang,’’ ucapnya. Tak ingin keluar rumah? Jujur,Wariat selalu ingin melakukan hal itu.Namun lagilagi karena keterbatasan,hasrat itu terus dipendam.Wariat sadar, jika memaksakan keluar rumah, sangat mungkin banyak orang akan mengejeknya. Alasan lain, tak sedikit anak-anak kampung yang mencemoohnya. “Ada yang takut.
Lagi pula saya tidak ingin menjadi perhatian banyak orang,”ujar wanita yang sama sekali tak mengenal huruf dan angka ini. Tak cuma tegar,Wariat merupakan tipikal orang yang religius.Dengan tinggi tubuh yang hanya berkisar antara 50 sentimeter (cm), dan kelainan fisik pada tangan serta kakinya, Wariat tak pernah lupa kepada sang Pencipta. Ia terus saja bersyukur atas nikmat yang selama ini diterimanya.
Termasuk umurnya yang dinilai sudah melampaui keinginannya. Berbekal keyakinannya terhadap agama yang ia peluk, Wariat masih rutin menjalankan puasa Senin dan Kamis. Puasa sunah itu seakan menjadi agenda yang selalu ditunggunya. “Alhamdulillah, sejauh ini saya masih kuat. Saya ingin puasa ini terus saya lakukan sampai mati nanti,” katanya. Pernyataan ini bukan sekadar pemanis.
Ketika dikunjungi kemarin, Wariat masih menjalankan puasa bulan Rajab. Tak ingin menikah?,Wariat tersenyum lebar.Pernyataannya kali ini seakan keluar dari pikiran jernihnya. Ia mengaku tak pernah berpikir jika sampai akhir hayatnya ada laki-laki yang mau menerimanya sebagai istri.
Lantaran itulah, ia sama sekali tak berharap memiliki suami. “Kalau ada yang mau,mungkin saya dijadikan bola sepak. Wong bangun saja,saya nggak bisa,’’ katanya dengan senyum lebar dan penuh makna. Saat ini,dia masih mempunyai keinginan satu hal yang belum terwujud. Ia ingin dua saudaranya kembali berkumpul dengannya.
Setelah puluhan tahun tak pernah melihat wajah adik dan kakak laki-lakinya itu. ”Sudah puluhan tahun kakak dan adik saya tak mengunjungi.Padahal masih satu desa. Mereka malu dengan kondisi saya yang seperti ini.Semoga sebelum saya mati, mereka mau menerima kekurangan saya ini,” harapnya sembari tertegun sebentar. (tritus julan/bersambung)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/jawa-timur/ikhlas-terima-garis-hidup-tak-henti-ber-3.html
Di balik ketidaksempurnaan fisik, keteguhan hati Wariat tidak pernah berhenti memancar.Dia nyaris tak pernah meninggalkan ibadah puasa sebagai bentuk syukurnya.
MIRING ke kiri, saat sudah terasa lelah, Wariat lantas membalikkan tubuhnya ke kanan. Gerakan inilah yang menjadi kebiasaannya setiap hari. Bukan karena malas, tapi dua kaki dan tangannya memang tak bisa digerakkan. Selain memiringkan tubuh di pembaringan itu, dia tak mampu melakukan gerakan lain.
Meski begitu, dia selalu terlihat ceria. Jarang terpancar gurat putus asa di raut mukanya. Seperti kemarin,wajahnya juga berseri-seri. Demikian adanya perangai wanita berusia 40 tahun itu.Meski tinggi tubuh tak lewat dari ukuran dengkul lelaki dewasa, dia selalu mengumbar senyum kepada siapa saja yang bersedia ’memanusiakan’nya.
Wariat adalah sosok wanita tegar.Fakta menunjukkan bahwa hidupnya tergantung dari orang lain akibat cacat fisik, tetapi dia selalu berusaha sekuat tenaga agar tidak merepotkan keluarganya. Ter bukti, biarpun tangannya tak bisa digerakkan dengan normal,dia ngototuntuk melatihnya.
’’Sakno sing ngrumat nek terus-terusan njaluk tulung. Kanggo mangan, kadangkadang nganggo tangan dewe (Kasihan yang merawat jika terus-terusan minta tolong. Untuk makan, kadang-kadang dengan tangan sendiri),’’ kata Wariat dalam bahasa Jawa, satu-satunya bahasa yang dia kuasai. Begitu juga saat mandi. Dia berusaha sekuat tenaga agar tak 100% dibantu orang lain.
Wariat memang tak bisa menghindari kenyataan bahwa dia harus digendong saat ke kamar mandi.”Setelah itu saya sendiri. Ya, pelan-pelan ambil air. Kalau selesai, saya minta tolong lagi digendong ke tempat tidur,’’ tuturnya, dalam posisi terbaring di pembaringannya yang kecil. Perilaku yang sama dilakukannya saat buang hajat.Wanita yang tak pernah bermimpi sembuh itu merasa sungkan jika orang lain ikut membantu aktivitas rutin yang menurutnya menjijikkan itu.
Dia melakukan sendiri buang air besar hingga kotoran itu bersih dari badannya.“Kalau saya terlalu merepotkan, takutnya mereka akan kapok merawat,”ujarnya. Seiring bertambahnya umur,Wariat tentu saja ingin tumbuh menjadi wanita yang normal secara akal.Termasuk menikmati keindahan banyak tempat.
Namun, karena telah berprinsip tak ingin ada banyak orang dalam kehidupannya yang ditimpa cacat fisik itu,konsekuensi itu secara otomatis terhapuskan. Dia masih ingat betul, sudah puluhan tahun tak pernah melihat indahnya pedesaan di pegunungan, tempat dia dilahirkan. Lantaran tak pernah keluar rumah, ia pun mengaku lupa dengan jalanjalan desa dan tempat yang pernah dilihatnya saat berumur kanak-kanak.
Meski begitu,Wariat lagilagi tak pernah mengeluh. Jika ingin melihat pemandangan luar rumah,dia melihatnya dari jendela yang berdekatan dengan tempat tidurnya.Bangunan Candi Jedong yang persis di depan rumahnya, menjadi satu-satunya objek yang menghiburnya tatkala keinginan untuk keluar rumah itu datang.
’’Saya senang kalau di bangunan candi itu ada banyak orang,’’ ucapnya. Tak ingin keluar rumah? Jujur,Wariat selalu ingin melakukan hal itu.Namun lagilagi karena keterbatasan,hasrat itu terus dipendam.Wariat sadar, jika memaksakan keluar rumah, sangat mungkin banyak orang akan mengejeknya. Alasan lain, tak sedikit anak-anak kampung yang mencemoohnya. “Ada yang takut.
Lagi pula saya tidak ingin menjadi perhatian banyak orang,”ujar wanita yang sama sekali tak mengenal huruf dan angka ini. Tak cuma tegar,Wariat merupakan tipikal orang yang religius.Dengan tinggi tubuh yang hanya berkisar antara 50 sentimeter (cm), dan kelainan fisik pada tangan serta kakinya, Wariat tak pernah lupa kepada sang Pencipta. Ia terus saja bersyukur atas nikmat yang selama ini diterimanya.
Termasuk umurnya yang dinilai sudah melampaui keinginannya. Berbekal keyakinannya terhadap agama yang ia peluk, Wariat masih rutin menjalankan puasa Senin dan Kamis. Puasa sunah itu seakan menjadi agenda yang selalu ditunggunya. “Alhamdulillah, sejauh ini saya masih kuat. Saya ingin puasa ini terus saya lakukan sampai mati nanti,” katanya. Pernyataan ini bukan sekadar pemanis.
Ketika dikunjungi kemarin, Wariat masih menjalankan puasa bulan Rajab. Tak ingin menikah?,Wariat tersenyum lebar.Pernyataannya kali ini seakan keluar dari pikiran jernihnya. Ia mengaku tak pernah berpikir jika sampai akhir hayatnya ada laki-laki yang mau menerimanya sebagai istri.
Lantaran itulah, ia sama sekali tak berharap memiliki suami. “Kalau ada yang mau,mungkin saya dijadikan bola sepak. Wong bangun saja,saya nggak bisa,’’ katanya dengan senyum lebar dan penuh makna. Saat ini,dia masih mempunyai keinginan satu hal yang belum terwujud. Ia ingin dua saudaranya kembali berkumpul dengannya.
Setelah puluhan tahun tak pernah melihat wajah adik dan kakak laki-lakinya itu. ”Sudah puluhan tahun kakak dan adik saya tak mengunjungi.Padahal masih satu desa. Mereka malu dengan kondisi saya yang seperti ini.Semoga sebelum saya mati, mereka mau menerima kekurangan saya ini,” harapnya sembari tertegun sebentar. (tritus julan/bersambung)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/jawa-timur/ikhlas-terima-garis-hidup-tak-henti-ber-3.html
0 komentar:
Posting Komentar