Selama puluhan tahun,Wariat merindukan bisa beraktivitas layaknya orang normal.Dia berharap bisa memiliki kursi roda yang bisa membawanya menikmati keadaan di luar rumah.
MASIH seperti biasanya, Wariat hanya bisa menghabiskan hampir seharian penuh waktunya di atas ranjang kecil di ruang tamu rumah bibinya di Desa Wotanmas Jedong,Kecamatan Ngoro, Mojokerto. Mau tidak mau, perempuan dengan tinggi tubuh hanya 50 sentimeter (cm) itu harus rela menjadi ”kembang bayang”.
Kondisi kaki yang tak bisa digerakkan memaksa dirinya “melekat” di tempat tidur kusam itu. Biarpun tak normal secara fisik, bukan berarti Wariat tak memiliki keinginan. Namun, mengingat keinginan itu berada di ‘langit ke tujuh’ dan tak bisa digapai, tak jarang dia harus mengubur dalam- dalam.
Apa keinginannya? Sederhana.Wanita yang cuma bisa berdialog dengan bahasa Jawa ini memimpikan punya kursi roda yang bisa membawanya keluar rumah. Bukan tanpa alasan bila wanita tegar ini punya keinginan memiliki alat bantu bergerak itu. Puluhan tahun di dalam rumah,Wariat merasa asing dengan lingkungan desanya.
Betapa tidak, segala memori tentang tanah tempat dia dilahirkan itu hanya bisa dinikmatinya saat masih kecil. Begitu penyakit itu menggerogoti, jangankan melihat suasana desa, melihat sekitar rumah saja hampir tak pernah. Itu karena dia tak mau merepotkan orang lain. ’’Sebenarnya, saya kepingin bisa jalan- jalan.Tapi bagaimana lagi, kalau harus digendong terus,justru akan merepotkan,’’ tutur Wariat.
Dia mengatakan, harapannya untuk mendapatkan kursi roda tak kunjung mendapatkan hasil. Kondisi ekonomi menjadi penyebab utama atas ketidakberdayaan itu. Bibinya hanyalah buruh tani.Tak mungkin baginya memaksa kerabat terdekatnya itu untuk membelikan kursi roda impiannya.
”Untuk makan sehari-hari saja susah, makanya untuk niat beli kursi roda,selalu saya redam sendiri,” katanya memelas, meski dengan nada yang cukup lugas. Dia berandai-andai, jika saja dirinya memiliki kursi roda sebagai teman berjalannya, ia akan mengelilingi alam pedesaannya yang berada di kaki bukit Gunung Penanggungan.
Selain itu, dia ingin menyapa teman sebayanya yang pernah dia kenal puluhan tahu lalu. Dengan mata berbinar- binar,ia menyebut satu per satu nama temannya yang pernah menjadi bagian dari kesehariannya, meski di dalam rumah.“Dulu, masih ada yang sering ke sini,tapi sudah puluhan tahun teman-teman saya itu tak pernah datang lagi,’’ akunya.
Dia bahkan berencana akan kembali ke salah satu musala yang ada di desanya jika memiliki kursi roda nanti. Rencana itu, karena ia ingin mengulang menjadi Wariat kecil yang masih suka pergi mengaji ke musala bersama teman-temannya. ’’Waktu berumur sekitar 20 tahunan, bibi masih nggak keberatan menggendong saya pergi ngaji.
Namun,karena bibi sudah tua, saya kasihan kalau bibi harus menggendong lagi,” ungkapnya yang masih sempat iba terhadap bibinya yang merawat hampir tiga puluh tahun itu. Memang,meski Wariat memiliki kekurangan fisik di sana- sini, keinginannya untuk menjadi hamba Allah yang taat seakan tak pernah luntur.
Jika saja ada seseorang yang rela mengajarinya untuk kembali belajar membaca Alquran, ia akan menyambutnya dengan senang hati. “Bibi dan paman saya tak punya banyak waktu. Kalau ada yang mengajari saat pagi hari, tentunya akan menjadi hiburan tersendiri,” ujarnya dengan senyum kecil tersungging.
Keinginan lain yang sampai saat ini belum menjadi kenyataan adalah bertemu dengan dua saudaranya. Meski dua saudaranya tinggal di satu desa dengannya,namun tak sekalipun saudara kandungnya itu mau menemuinya. Ia pun sadar,jika alasan dua saudaranya itu tak mau menemui dirinya,lantaran kondisi fisik yang dianggap aib.
“Kalau bisa, saya yang akan menemui,” harapnya dengan kembali menyebut kursi roda sebagai alat untuk menemui kakak dan adiknya itu. Tanpa alat bantu itu, ia yakin tak akan bertemu dengan saudaranya hingga ajalnya tiba. Pesimisme itu muncul lantaran sikap saudaranya yang seolah tak mau bertemu dengannya meski pernah melintas di jalanan depan rumahnya.
“Andai saja ada kursi roda, saya akan berusaha menggerakkan tangan saya sendiri untuk berjalan-jalan,” katanya yakin dengan kekuatan tangannya itu akan muncul seiring dengan keinginan kuatnya. Apakah pernah berharap sembuh? Mendengar pertanyaan itu,Wariat malah tertawa.
Ia sama sekali tak yakin jika kondisi fisiknya dapat diubah. Untuk sembuh dari kelumpuhan saja, ia pesimistis. Lagi-lagi,kondisi ekonomilah yang memaksanya untuk ‘takut’ berobat ke dokter. ’’Sama sekali tak pernah ke dokter.Wong katanya orang, pergi ke dokter itu mahal,” ujarnya. Mesti, bibi Wariat, bukan tak sadar dengan keinginan keponakannya itu.
Namun, karena kondisi ekonominya yang pas-pasan,dia harus mengelus dada. Mesti mengaku pernah bertanya kepada tetangganya mengenai harga kursi roda yang dipinta Wariat, setelah mendengar angka yang disebut tetangganya itu, dia langsung lemas.“Harganya jutaan katanya.Wong ratusan ribu saja kita mikir-mikir untuk mendapatkannya,” kata Mesti.
Penolakannya itu,kadangkadang juga membuatnya iba kepada Wariat. Jika Wariat menyebut kursi roda, Mesti mengaku selalu mengalihkan pembicaraan.Ia tak ingin keponakannya larut dalam keinginan yang tak mungkin didapat dengan usaha sendiri itu. “Semoga keinginan itu terkabul,”ujarnya. Sebenarnya, apakah yang terjadi dengan diri Wariat? Berbagai gangguan kecil mulai dari tumbuhnya bisul baru sampai ngilu tulang merupakan dampak keterlambatan tumbuh kembang.
Beberapa organ tubuh Wariat yang semestinya menjadi penangkal penyakit tidak berfungsi. Semua itu akibat kesalahan awal ketika dirinya masih belia. Dokter Spesialis Anak RSU dr Soetomo Surabaya dr Agus Haryanto SpA menuturkan, seharusnya saat balita, Wariat langsung dibawa ke rumah sakit (RS).Dari situ,pihak RS bisa menambah konsumsi makanan serta penambahan protein untuknya.
Dia menyesalkan orang tua Wariat yang membawanya ke dukun pijat ketika terjadi masalah. Menurutnya, risiko pijat tradisional bagi balita sangat besar,bila salah satu urat tubuh bayi tidak berfungsi. “Namun, sebagian besar kasus seperti ini terjadi karena faktor genetik. Jadi penyebab paling besar karena faktor keturunan dari keluarga,” ujar Agus kemarin.
Agus melanjutkan,Wariat bisa menghindari gejala-gejala penyakit seperti ngilu tulang kalau dirinya bisa menjaga konsumsi makanan.Terutama makanan-makanan yang mengandung kolesterol. Sebab,organ tubuh yang dimiliki Wariat sangat sensitif.
Hal senada diutarakan dokter Spesialis Penyakit Dalam RS Spesialis Husada Utama (RS HU) Surabaya dr Iswin Abbas Nusi SpPD-KGEH yang menyatakan penyebab keterlambatan pertumbuhan Wariat karena faktor genetik dari keluarga. Kalaupun dari keluarganya tidak memiliki catatan tumbuh kembang lambat,bisa jadi terjadi mutasi genetik dalam keluarga Wariat.
Ini bila melihat catatan fisik Wariat yang hanya memiliki tubuh setinggi 50 cm memungkinkan terjadi kesalahan genetik. “Coba lihat saja catatan keluarganya, pasti ada salah satu keluarga Wariat yang mengalami kondisi sama,” ungkapnya.
Kendati demikian, pihaknya tidak bisa memastikan secara detail sebelum dilakukan pemeriksaan di RS.Apalagi, kabarnya Wasiat belum pernah diperiksakan di RS. Sehingga segala kemungkinan masih bisa terjadi. (tritus julan)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/jawa-timur/berharap-punya-kursi-roda-untuk-jalan-3.html
MASIH seperti biasanya, Wariat hanya bisa menghabiskan hampir seharian penuh waktunya di atas ranjang kecil di ruang tamu rumah bibinya di Desa Wotanmas Jedong,Kecamatan Ngoro, Mojokerto. Mau tidak mau, perempuan dengan tinggi tubuh hanya 50 sentimeter (cm) itu harus rela menjadi ”kembang bayang”.
Kondisi kaki yang tak bisa digerakkan memaksa dirinya “melekat” di tempat tidur kusam itu. Biarpun tak normal secara fisik, bukan berarti Wariat tak memiliki keinginan. Namun, mengingat keinginan itu berada di ‘langit ke tujuh’ dan tak bisa digapai, tak jarang dia harus mengubur dalam- dalam.
Apa keinginannya? Sederhana.Wanita yang cuma bisa berdialog dengan bahasa Jawa ini memimpikan punya kursi roda yang bisa membawanya keluar rumah. Bukan tanpa alasan bila wanita tegar ini punya keinginan memiliki alat bantu bergerak itu. Puluhan tahun di dalam rumah,Wariat merasa asing dengan lingkungan desanya.
Betapa tidak, segala memori tentang tanah tempat dia dilahirkan itu hanya bisa dinikmatinya saat masih kecil. Begitu penyakit itu menggerogoti, jangankan melihat suasana desa, melihat sekitar rumah saja hampir tak pernah. Itu karena dia tak mau merepotkan orang lain. ’’Sebenarnya, saya kepingin bisa jalan- jalan.Tapi bagaimana lagi, kalau harus digendong terus,justru akan merepotkan,’’ tutur Wariat.
Dia mengatakan, harapannya untuk mendapatkan kursi roda tak kunjung mendapatkan hasil. Kondisi ekonomi menjadi penyebab utama atas ketidakberdayaan itu. Bibinya hanyalah buruh tani.Tak mungkin baginya memaksa kerabat terdekatnya itu untuk membelikan kursi roda impiannya.
”Untuk makan sehari-hari saja susah, makanya untuk niat beli kursi roda,selalu saya redam sendiri,” katanya memelas, meski dengan nada yang cukup lugas. Dia berandai-andai, jika saja dirinya memiliki kursi roda sebagai teman berjalannya, ia akan mengelilingi alam pedesaannya yang berada di kaki bukit Gunung Penanggungan.
Selain itu, dia ingin menyapa teman sebayanya yang pernah dia kenal puluhan tahu lalu. Dengan mata berbinar- binar,ia menyebut satu per satu nama temannya yang pernah menjadi bagian dari kesehariannya, meski di dalam rumah.“Dulu, masih ada yang sering ke sini,tapi sudah puluhan tahun teman-teman saya itu tak pernah datang lagi,’’ akunya.
Dia bahkan berencana akan kembali ke salah satu musala yang ada di desanya jika memiliki kursi roda nanti. Rencana itu, karena ia ingin mengulang menjadi Wariat kecil yang masih suka pergi mengaji ke musala bersama teman-temannya. ’’Waktu berumur sekitar 20 tahunan, bibi masih nggak keberatan menggendong saya pergi ngaji.
Namun,karena bibi sudah tua, saya kasihan kalau bibi harus menggendong lagi,” ungkapnya yang masih sempat iba terhadap bibinya yang merawat hampir tiga puluh tahun itu. Memang,meski Wariat memiliki kekurangan fisik di sana- sini, keinginannya untuk menjadi hamba Allah yang taat seakan tak pernah luntur.
Jika saja ada seseorang yang rela mengajarinya untuk kembali belajar membaca Alquran, ia akan menyambutnya dengan senang hati. “Bibi dan paman saya tak punya banyak waktu. Kalau ada yang mengajari saat pagi hari, tentunya akan menjadi hiburan tersendiri,” ujarnya dengan senyum kecil tersungging.
Keinginan lain yang sampai saat ini belum menjadi kenyataan adalah bertemu dengan dua saudaranya. Meski dua saudaranya tinggal di satu desa dengannya,namun tak sekalipun saudara kandungnya itu mau menemuinya. Ia pun sadar,jika alasan dua saudaranya itu tak mau menemui dirinya,lantaran kondisi fisik yang dianggap aib.
“Kalau bisa, saya yang akan menemui,” harapnya dengan kembali menyebut kursi roda sebagai alat untuk menemui kakak dan adiknya itu. Tanpa alat bantu itu, ia yakin tak akan bertemu dengan saudaranya hingga ajalnya tiba. Pesimisme itu muncul lantaran sikap saudaranya yang seolah tak mau bertemu dengannya meski pernah melintas di jalanan depan rumahnya.
“Andai saja ada kursi roda, saya akan berusaha menggerakkan tangan saya sendiri untuk berjalan-jalan,” katanya yakin dengan kekuatan tangannya itu akan muncul seiring dengan keinginan kuatnya. Apakah pernah berharap sembuh? Mendengar pertanyaan itu,Wariat malah tertawa.
Ia sama sekali tak yakin jika kondisi fisiknya dapat diubah. Untuk sembuh dari kelumpuhan saja, ia pesimistis. Lagi-lagi,kondisi ekonomilah yang memaksanya untuk ‘takut’ berobat ke dokter. ’’Sama sekali tak pernah ke dokter.Wong katanya orang, pergi ke dokter itu mahal,” ujarnya. Mesti, bibi Wariat, bukan tak sadar dengan keinginan keponakannya itu.
Namun, karena kondisi ekonominya yang pas-pasan,dia harus mengelus dada. Mesti mengaku pernah bertanya kepada tetangganya mengenai harga kursi roda yang dipinta Wariat, setelah mendengar angka yang disebut tetangganya itu, dia langsung lemas.“Harganya jutaan katanya.Wong ratusan ribu saja kita mikir-mikir untuk mendapatkannya,” kata Mesti.
Penolakannya itu,kadangkadang juga membuatnya iba kepada Wariat. Jika Wariat menyebut kursi roda, Mesti mengaku selalu mengalihkan pembicaraan.Ia tak ingin keponakannya larut dalam keinginan yang tak mungkin didapat dengan usaha sendiri itu. “Semoga keinginan itu terkabul,”ujarnya. Sebenarnya, apakah yang terjadi dengan diri Wariat? Berbagai gangguan kecil mulai dari tumbuhnya bisul baru sampai ngilu tulang merupakan dampak keterlambatan tumbuh kembang.
Beberapa organ tubuh Wariat yang semestinya menjadi penangkal penyakit tidak berfungsi. Semua itu akibat kesalahan awal ketika dirinya masih belia. Dokter Spesialis Anak RSU dr Soetomo Surabaya dr Agus Haryanto SpA menuturkan, seharusnya saat balita, Wariat langsung dibawa ke rumah sakit (RS).Dari situ,pihak RS bisa menambah konsumsi makanan serta penambahan protein untuknya.
Dia menyesalkan orang tua Wariat yang membawanya ke dukun pijat ketika terjadi masalah. Menurutnya, risiko pijat tradisional bagi balita sangat besar,bila salah satu urat tubuh bayi tidak berfungsi. “Namun, sebagian besar kasus seperti ini terjadi karena faktor genetik. Jadi penyebab paling besar karena faktor keturunan dari keluarga,” ujar Agus kemarin.
Agus melanjutkan,Wariat bisa menghindari gejala-gejala penyakit seperti ngilu tulang kalau dirinya bisa menjaga konsumsi makanan.Terutama makanan-makanan yang mengandung kolesterol. Sebab,organ tubuh yang dimiliki Wariat sangat sensitif.
Hal senada diutarakan dokter Spesialis Penyakit Dalam RS Spesialis Husada Utama (RS HU) Surabaya dr Iswin Abbas Nusi SpPD-KGEH yang menyatakan penyebab keterlambatan pertumbuhan Wariat karena faktor genetik dari keluarga. Kalaupun dari keluarganya tidak memiliki catatan tumbuh kembang lambat,bisa jadi terjadi mutasi genetik dalam keluarga Wariat.
Ini bila melihat catatan fisik Wariat yang hanya memiliki tubuh setinggi 50 cm memungkinkan terjadi kesalahan genetik. “Coba lihat saja catatan keluarganya, pasti ada salah satu keluarga Wariat yang mengalami kondisi sama,” ungkapnya.
Kendati demikian, pihaknya tidak bisa memastikan secara detail sebelum dilakukan pemeriksaan di RS.Apalagi, kabarnya Wasiat belum pernah diperiksakan di RS. Sehingga segala kemungkinan masih bisa terjadi. (tritus julan)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/jawa-timur/berharap-punya-kursi-roda-untuk-jalan-3.html
0 komentar:
Posting Komentar