Selasa, 04 November 2008

Pilkadal yang (selalu) Mengkadali


Penuh sesak dengan trik dan intrik. Segala cara ditempuh untuk meraih tampuk kepemimpinan—yang konon selalu dibumbui dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Begitulah suasana hiruk pikuk pesta demokrasi yang hanya dinikmati segelintir kelompok itu.
Huh, selalu saja masyarakat yang menjadi korban. Berdalih masyarakat masih butuh duit, Pilkadal selalu saja diwarnai dengan aksi bagi-bagi uang—kelakuan calon pemimpin yang (pasti) tak akan bersih menjalankan pemerintahannya jika terpilih nanti. Dengan ”bungkusan” sedekah, money politic menjadi favorit calon pemimpin untuk mendulang dukungan.
Siapa sebenarnya yang menjadi pemicu money politic ini. Masyarakat yang lagi ”haus” akan uang dan ingin lolos sesaat dari jeratan ekonomi, atau memang watak calon pemimpin yang selalu mendewakan uang untuk tujuan antara-nya itu. Jika memang masyarakat sedang haus materi, itu mungkin tak menjadi masalah besar bagi keberlangsungan bangsa ini. Ironis, jika masyarakat mampu terbeli, dan menjadi obyek peng-kadalan pemimpin busuk.
Jika watak calon pemimpin yang memang mendewakan uang, tentu saja aka menjadi momok bagi masyarakat. Iming-iming besarnya uang yang akan dikelola, tentu saja membuat pemimpin-pemimpin baru itu tergoyahkan. Apalagi ada dalih, ternyata tak sedikit untuk sekedar menjadi pemimpin, baik sekelas lurah, bupati, wali kota, atau bahkan gubernur.
Jika dibiarkan proses demokrasi yang seperti ini, tinggal menunggu waktu, bangsa ini akan menjadi bangsa yang penuh kadal dan dikadal. Bodoh, masa bodoh, dungu, culas, menjadi pilihan yang jarus ditetapkan. Sementara demokratis, obyektif, solutif, konstruktif, menjadi pilihan baik yang tidak dibenarkan.
Ngeri, bukan hanya politisi sesungguhnya dan politisi busuk yang berlindung di ketiak partai saja yang ikut campur dalam momen pilkadal. Tokoh masayarakat, LSM, tokoh agama, yang seharusnya berada di garda depan kelompok bersih, juga ikut ”nimbrung” mencari rejeki. Tak ada kata halal dan haram. Tak ada kamus benar dan salah. Yang ada, calon yang merangkulnya-lah, yang paling terdepan dan layak untuk dipilih. Huh, dasar otak uang!!!!.
Tak ada salahnya, jika ada penilaian bahwa pilkadal hanya merusak mental bangsa yang sudah remuk. Juga mental mereka yang awalnya sudah tampak bagus. Jika demikian, apa yang diharapkan dari pesta dengan label pilkadal itu. Memilih kadal, dikadalin, atau memelihara kadal?. Jika hanya demikian, Negara tak harus menanggung risiko besarnya biaya pilkadal.
Jangan salahkan pula, jika kelompok terdidik, memilih untuk tidak memilih dalam setiap momen mencari pemimpin. Karena prinsipnya sama : Tak ada pemimpin yang terpilih tanpa uang. Dan tak satupu pemimpin yang menggunakan uang untuk meraih tampuk kepemimpinan—yang tak doyan dengan namanya uang.
Sebuah pilihan yang sulit, dan pilihan itu kita buat sendiri.

0 komentar: