Minggu, 03 April 2011

Pembunuh Massal Itu Tetaplah Macan


Tiba-tiba saja teringat pepatah orang kuno yang menebak perkembangan zaman ratusan tahun ke depan (kekinian). Terungkap dari seorang kakek tua yang mengatakan jika pada zaman maju, pembunuh paling kejam tetaplah seekor Harimau (Macan), seperti layaknya di hutan. Harimau menurutnya, adalah mesin pembunuh manusia yang akan kekal.
Di era kekinian, masih soal tebakan orang kuno itu, Harimau akan bebas leluasa berada di jalanan dan siap menerkam manusia. Menyeramkan, dan lebih menyeramkan dibanding saat Harimau memangsa manusia di hutan belantara. Akan lebih banyak manusia yang mengakhiri hidupnya dari terkaman Harimau di jalanan itu.
Tapi tentu saja, di era kekinian, sepertinya ungkapan si kakek ini ibarat orang yang mengigau. Faktanya, Harimau lebih banyak menghuni kerangkeng di kebun binatang yang kemungkinan kecil bisa menerkam manusia. Atau bahkan, Harimau lebih banyak hidup di hutan belantara dan tak mungkin bisa menembus wilayah perkotaan yang banyak dihuni manusia.
Tapi tunggu dulu. Ada makna di balik tebakan orang kuno ini. Dan tentu saja, mereka tak memaknai dengan mentah kata Harimau membunuh manusia di jalanan itu. Harimau yang bisa bernapas, ternyata berubah menjadi mesin yang berjalan—mobil dan sepeda motor. Dan jalanan, tetap saja jalanan— baik yang beraspal atau bahkan jalanan desa.
Sepertinya tebakan orang kuno ini mulailah bisa dibenarkan. Faktanya lagi, saat ini, banyak orang yang nyawanya berakhir di atas aspal. Kecelakaan. Tak terhitung lagi berapa banyak nyawa manusia melayang sejak bumi ini dinyatakan telah memasuki era modern. Di mana sudah semakin banyak kendaraan roda dua dan empat bermesin yang berlalu-lalang di jalan raya.
Kecelakaan lalu-lintas menjadi momok setiap pengendara. Jalan memang semakin lebar dan halus dengan aspal hotmix-nya. Tapi ini justru melahirkan Macan-Macan baru yang siap mengikis angka penduduk. Belum lagi, perilaku manusia yang kerap abai dengan aturan berkendara.
Sebut saja wilayah Kabupaten Mojokerto yang kini telah memiliki ribuan kilo meter jalanan beraspal yang sempat dibangun. Kelasnya pun beragam. Mulai dari kelas aspal nomor wahid yang halusnya luar biasa, sampai kelas aspal asal tempel yang dibangun dengan dengan dalih kontraktor yang mengaku jika nilai proyek telah disunat oleh pemerintah.
Ribuan jalan beraspal itu menjadi lahan baru bagi ribuan ”Macan” yang memangsa manusia. Apalagi akhir-akhir ini, kondisi jalan raya di wilayah ini mendapat nilai merah dari warga. Banyak jalan berlubang menganga yang kerap menjadi pemicu kecelakaan yang berujung maut.
Jalan berlubang itu terbilang merata. Baik di jalur utara Kali Brantas (Gedeg, Jetis, Dawarblandong), maupun wilayah selatan (Jatirejo) yang menjadi pusat eksplorasi galian C. Pun di wilayah tengah (Kecamatan Sooko) yang berhimpitan dengan wlayah perkotaan, kondisi jalannya juga memprihatinkan.
Tepatnya di Jalan Wijaya Kusuma, sepanjang jalan ini bertabur lubang maut. Ditambah lagi lampu penerangan yang tak menancap. Tak terhitung lagi berapa manusia yang diterkam dan hampir diterkam mati oleh Macan yang berubah menjadi jalan aspal. Berita tentang pengendara yang meregang nyawa di atas aspal, sudah menjadi berita keseharian.
Lantas apa yang dilakukan oleh pemilik hutan belantara kota ini?. Ya, cuma menambal di sana-sini dengan menggunakan material seadanya, bukan aspal. Itupun diberlakukan bagi jalan raya yang sudah sangat parah. Lantas apakah tak ada cukup uang untuk mengatasi masalah ini, sementara kucuran dana dari pemerintah tertinggi sudah ada di tangan.
Ya, penguasa wilayah ini mungkin sedang sibuk menikmati permainan ganti tokoh lewat mutasi pejabat yang sudah dilakukan enam kali berturut-turut. Lantas apakah ini mampu menjawab persoalan di atas, sementara sebenarnya mereka sadar jika akan lebih banyak lagi rakyat yang dipimpinnya itu sedang diintai Macan-Macan Aspal. (*)

0 komentar: