Rabu, 06 April 2011

© (raja pasir dan batu)


Tercengang saat beberapa hari lalu, pucuk pimpinan pemangku perda (baca : Satpol PP) di sebuah wilayah, menyebut jika di wilayahnya itu telah berdiri sedikitnya 80 lokasi galian pasir dan batu (sirtu). Pria berbadan tegap dan berkumis garang itu tanpa ragu menyebut angka 70 untuk yang legal, dan sisanya 10 lokasi yang belum berizin.
Tentu saja, penyebutan statistik korps abdi negara ini tanpa dibarengi dengan pikiran dampak dibalik itu. Ya, hanya menyebut angka dan kemudian berjanji akan menutup paksa 10 lokasi penambangan ilegal itu. Di balik itu, lokasi tak berizin ini akan diarahkan untuk mengantiongi izin yang ujung-ujungnya dengan dalih penambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sekilas, tak ada yang aneh dengan penyebutan angka oleh pimpinan polisi tukang gusur itu. Namun, angka ini menjadi fantastis saat menilik penyebarannya. Apalagi, satu lokasi penambangan memiliki luas minimal 2 hektar. Jika dihitung rendah saja, akan sekitar 160 hektar lahan yang dipastikan akan menjadi ceruk-ceruk raksasa.
Dihitung-hitung lagi, hanya ada 3 wilayah kecamatan saja yang menjadi terminal penambangan. Dengan begitu, rata-rata satu kecamatan akan memiliki satu ceruk ukuran 60 hektar (wow). Menambah PAD, ya, meski aku yakin lebih banyak yang bocor dibanding yang masuk ke kas daerah. Tapi apakah PAD menjadi satu-satunya alasan untuk abai terhadap dampaknya.
Seorang kawan yang sudah malang melintang menjadi aktivis lingkungan pun keningnya berkerut. Setengah tidak percaya dengan angka di atas. Lantas dengan cepat ia protes. Bukan protes soal angka, namun lebih pada dampak yang pelan tapi pasti akan dirasakan masyarakat. ”Selama ini, tak ada upaya reklamasi yang dilakukan para penambang,” kata kawanku ini.
Itu tak salah kawan. Tapi ada lagi yang lebih memprihatinkan. Si penikmat PAD, ternyata juga abai dengan dampak ini. Mana ada aturan tegas soal kewajiban reklamasi yang harus ditanggung penambang. Jika demikian, dampak buruk yang dilontarkan kawanku tadi, tidaklah salah. 160 hektar lahan akan menjadi lahan mati dan siap memberi dampak buruk kepada warga sekitarnya.
Sekitar setahun yang lalu, aku sempat berpikir akan kehilangan nyawa. Saat sebuah tugas yang memaksaku menyinggahi lokasi perbukitan dengan jalan terjal di ujung selatan wilayah ini (maaf : lokasinya rahasia). Dari jalan raya, aku menempuhnya dengan waktu sekitar 30 menit. Bukan jalan yang dilewati motor scooter matic ku itu, tapi sungai.
Tampak di depan mataku pemandangan yang baru kulihat sepanjang umurku. Empat mesin bachoe berdiri gagah di tengah sungai dan dengan asyiknya mengeruk dan terus mengeruk. Mesin-mesin itu tak hanya merusak sungai, tapi juga membelah bukit. Dan lebih ngeri lagi, centeng-centeng lokal dengan tampang garang dan senjata tajam di tangan siap menerkamku saat itu.
Sebenarnya, kata ngeri tadi lebih tepat bukan soal aku yang sedang diintai maut oleh para centeng-centeng itu. Ngeri saat membayangkan dampak masyarakat di bawah wilayah ini jika hujan deras datang. Nah, belum sempat bayangan di otakku itu menghilang, ternyata ada ratusan warga yang hendak menghentikan paksa aktivitas tak bertanggung jawab itu.
Warga resah dan kebingungan. Sejak aktivitas penambangan terjadi di sini, warga tak lagi bisa menikmati air bersih. Air pegunungan yang sebelumnya jernih tak terkira, menjadi cokelat dan tak layak untuk mencuci baju sekalipun.
Penggalan cerita di atas, patut menjadi perenungan. Setidaknya, bagaimana bisa, aktivitas yang merusak lingkungan itu bisa terjadi sebebas-bebasnya. Dan kembali soal angka, kenapa angka lokasi penambangan terus saja bertambah. Ternyata : itu terjadi sejak raja di wilayah itu yang memang gemar makan pasir dan batu (galian ©).
Andai saja sang raja gemar onde-onde, akan banyak onde-onde di wilayah ini. Andai saja sang raja adalah pecinta wanita, maka akan banyak perempuan cantik pula. Celakannya, jika sang raja gemar tai kucing, maka pastilah semua rakyatnya mati karena bau. Semoga raja cepat sadar, apa yang menjadi kegemarannya itu cepat berlalu. Atau tunggu saja wilayahnya akan tenggelam dari hasil hawa nafsunya mengeruk dan menumpuk kekayaan. (*)

0 komentar: