Minggu, 13 Januari 2008

Melongok Desa Penghasil Manik-Manik


FOTO : SINDO/TRITUS JULAN

MINIM UNTUNG : Kendati usaha perajin manik-manik ini tak banyak mengahsilakan keuntungan, mereka terus bertahan.


Melongok Desa Penghasil Manik-Manik

Bahan Bakar Mahal, Untung Bisnis Mepet


Di Dusun Plumbon Desa Gambang Kec Gudo, menjadi salah satu penghasil manik-manik dari kaca. Di dusun itu, rata-rata penduduknya menjadi perajin aksesoris bening itu.

Memasuki Dusun Plumbon, di sebelah kanan dan kiri jalan raya selalu saja ditemui manik-manik yang dipajang apik di sejumlah show room milik perajin. Tak hanya puluhan, sekitar ratusan perajin manik-manik itu tetap saja bertahan dengan aktivitas ekonomi yang sudah puluhan tahun itu.

Maraknya perajin manik-manik di desa tersebut, bukan berarti mereka (perajin) tak mendapati masalah serius atas keberlangsungan bisnis tersebut. Saat ini, merek tengah dihadapkan pad masalah tingginya harga bahan baku dan minyak tanah yang menjadi kebutuhan pokok usaha ini. Selain itu, tak ada event khusus yang membuat bisnis mereka ini ramai pembeli.

Sriana, salah satu perajin mengaku, bisnis yang telah 25 tahun digelutinya itu kondisinya sedang lesu. Menurut dia, harga barang jadi miliknya tak kunjung mencapai angka optimal. Hal ini dipicu tingginya harga bahan baku dan bahan proses kaca menjadi manik-manik tersebut. ’’Semua proses disini menggunakan bahan bakar minyak tanah. Sehari bisa ratusan liter, karena mulai dari pembakaran kaca hingga pembentukan manik-manik itu, semua butuh bahan bakar,’’ tuturnya.

Tak hanya mahal dan langkanya minyak tanah yang ia keluhkan. Ia sendiri mengaku jika harga bahan baku berupa puluhan jenis kaca itu, terus saja meroket. Sementara produk yang dihasilkan, tak bisa mengikuti harga bahan baku yang ia datangkan dari Surabaya. Praktis, ia hanya memperoleh keuntungan yang sangat minim dari hasil bisnis ini. Hanya alasan memperkerjakan karyawannyalah yang membuat dia tetap bertahan dengan usaha ini. ’’Untungnya mepet. Tak sebanding dengan prosesnya yang cukup rumit itu. Hanya saja, kami tetap bisa bertahan untuk mempekerjakan 20 karyawan saya. Itung-itung biar angka pengangguran di desa ini bisa ditekan,’’ tukasnya.

Menurut dia, dengan harga manik-manik yang ia jual antara Rp2 – 20 ribu itu, tak banyak membuat bisnisnya itu maju pesat. Selain karena masalah-masalah yang melilit selama ini, tak ada musim yang ramai atas barang buatannya tersebut. ’’Stabil. Meski musim haji, tetap saja pengiriman barang berdasarkan pesanan. Dari pembeli lokal, tak banyak diharapkan,’’ katanya.

Dia mengaku, manik-manik buatannya berupa kalung, tasbih, gelang, anting dan gantungan kunci itu selama ini hanya mengandalkan pemasaran di kota-kota besar seperti Bali, Jakarta dan Kalimantan. Itupun menurut dia, ia lakukan tanpa ada bantuan promosi dari pemerintah daerah setempat. ’’Tidak ada program bantuan pelatihan maupun pemasaran dari Pemkab Jombang. Terpaksa kami terseok-seok untuk tetap melanjutkan usaha yang menjadi ikon Kec Gudo ini,’’ tukas ibu dua anak itu. (tritus julan)

0 komentar: