Sabtu, 02 Februari 2008

Stop Kiai NU Berpolitik



Minggu, 03/02/2008

JOMBANG (SINDO) – Persoalan lawas tentang banyaknya kiai atau ulama yang menceburkan diri dalam dunia politik praktis,kembali dipersoalkan.

Kemarin,sejumlah ulama dari berbagai daerah di Jatim berkumpul di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, membahas ”pelanggaran” jati diri para kiai itu. Selain KH Salahuddin Wahid yang bertindak sebagai tuan rumah, hadir KH Sholeh Qosim (Ngelom, Sepanjang, Sidoarjo), KH Ihya Ulumuddin, KH Mahfudz Syaubari (Pacet,Mojokerto), H Moh Mudatstsir Badruddin (Pamekasan), KHSaifulIslam,KH An’im F Mahrus (Lirboyo),dan Umar Saifulloh Syamsul Huda.

Menariknya,hadir pula ulama dari Yaman Al Habib Umar bin Muhammad bin Hafidz. Dalam pertemuan yang digelar berbarengan Haul Masyayikh Salafus Sholih itu, mereka sepakat untuk mengembalikan posisi ulama, terutama kiai NU sebagai tokoh yang memberikan ajaran Islam secara benar,menyusul banyaknya ajaran Islam yang dikategorikan sesat.

Sayangnya, pertemuan digelar tertutup bagi wartawan. Beredar informasi, silaturahmi para kiai itu juga menjadi ajang mengkritik habis sejumlah ulama NU yang tak kuat membendung syahwat politiknya. Pertemuan itu sendiri, akhirnya menghasilkan sebuah deklarasi yang berisi empat poin. Pertama, mengajak ulama untuk kembali ke khitah perjuangan ulama salaf.

Kedua, mengajak ulama untuk membentengi umat dari pengaruh liberalisme, pluralisme, dan sekularisme dalam kaitan agama serta aliran di luar ahlussunnah wal jamaah. Ketiga, mengajak ulama untuk tetap melakukan koordinasi dan komunikasi terusmenerus terkait perkembangan sejumlah aliran sesat yang marak akhir-akhir ini.

Keempat,mengajak ulama kembali ke peran sebagai contoh umat dalam menjalankan syariat Islam. Pimpinan Pondok Pesantren TebuirengKHSalahuddin Wahid mengatakan, khusus mengenai seruan kepada ulama untuk menjauhkan umat dari pluralisme, liberalisme, dan sekularisme,itu memang dipengaruhi banyaknya aliran Islam yang menyimpang dari ajaran sebenarnya.

Kondisi ini menurut adik kandung mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid itu, perlu menjadi perhatian khusus para ulama, yang selalu berada pada garis depan perjuangan dan ajaran Islam. ’’Kalau soal keragaman, itu tak jadi masalah bagi kami. Yang bahaya, mereka menganggap jika semua agama itu sama. Ini yang perlu diluruskan. Dan ulamalah yang bertanggung jawab untuk meluruskan ini,’’ kata Gus Solah, panggilan akrab KH Salahuddin Wahid.

Mantan cawapres ini menambahkan, upaya untuk mengumpulkan ulama besar itu, juga dilandasi dengan kondisi Nahdlatul Ulama (NU).Menurut Gus Solah,NU sedang dalam kondisi yang telah menyimpang dari tujuan awal didirikannya.

Gus Solah menyebut,perjalanan panjang NU memang menjadikan organisasi masya- rakat terbesar itu mempunyai kekuatan yang cukup besar. Namun menurut dia, NU tak cukup kuat karena beberapa ulama mulai terpecah. Terlebih, kelompok-kelompok di dalam NU kerap terseret pada kepentingan politik praktis. ’’Jabatan di partai politik dan eksekutif, membuat tokoh- tokoh ini menjadi terpecah,’’ kritiknya.

Ia juga meminta kepada sejumlah tokoh NU yang ingin menduduki jabatan parpol dan eksekutif untuk menanggalkan jabatannya. Menurut Gus Solah,hal ini menjadi pemicu perpecahan di tubuh organisasi yang didirikan KH Hasyim Asy’ari itu.

’’Tak peduli siapa saja pejabat struktural NU yang ingin menjadi bupati, gubernur, atau bahkan presiden, mereka harus menanggalkan jabatannya. Karena jika tidak, hal ini akan menjadi potensi besar kader NU akan terpecah,’’ lanjut dia, sambil menambahkan empat butir kesepakatan deklarasi Tebuireng tersebut,yang tertuang dalam secarik kertas yang ditandatangani masing-masing ulama itu.

Atas pertemuan ulama yang dipeloporinya itu, Gus Solah membantah jika hal tersebut sebagai tandingan terhadap keberadaan PBNU. ’’Tidak, kami justru mendukunglangkah- langkahPBNU. Hanya, upaya kami ini sekadar mengajak ulama untuk kembali ke ajaran KH Hasyim Asy’ari. Rencana pertemuan ini telah kami rancang tiga bulan sebelumnya,’’ tegasnya.

Kiai Parpol

Maraknya ulama yang terjundalamduniapolitikinijuga dikatakan KH Gufron,pimpinan pondok pesantren Al-Huda Malang.Menurut dia, saat ini para ulama di Jawa Timur sedang menghadapi situasi politik yang rawan menjadikan mereka terjun ke politik praktis.Dia menyebut, momentum Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jatim akan menjadikan potensi perpecahan di tingkatan ulama sendiri.

’’Sekarang kesan yang tampak, ada kiai PKB, kiai PKNU,dan kiai parpol lainnya. Ini menjadikan kerawanan tersendiri bagi para ulama untuk menjadipemaindalamkancah politik,’’ tegas KH Gufron. Dia menuturkan, posisi ulama dalam dunia politik seharusnya tidak menjadi pemain. Ia menyebut,ulama harus memosisikan diri untuk menjadi wasit dalam pertarungan politik di semua lini. Sehingga, menurut dia, jika seluruh ulama memosisikan dirinya demikian, ulama akan selamat dari perpecahan.

’’Harus jadi wasit, jangan jadi pemain.Kalau ulamanya yang jadi pemain, lantas santri mau jadi apa?’’ tandasnya. Sementara itu, diam-diam calon gubernur (cagub) PKB Achmady, ternyata hadir dalam pertemuan ini.

Di tengahtengah acara, dia memasuki kediaman Gus Solah. Entah apa yang dilakukan.Tak sampai 15 menit,dia keluar ruangan. Achmady terkesan menghindari wartawan karena berjalan sangat terburu-buru dari arena haul ulama besar itu. (tritus julan)

0 komentar: