Wartawan Tak Paham HIV/AIDS?
Seorang yang menurutku paham betul soal apa itu Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) tiba-tiba melontarkan kata-kata yang menohok : ''Wartawan kerap kali salah dalam menulis dan menyajikan berita terkait HIV/AIDS. Dan ternyata, masih banyak jurnalis yang tak paham betul soal ini''.
Seeerrrrr, begitu yang terasa di otakku saat mendengar kata-kata itu. Parahnya lagi, si nara sumber dalam dialog peliputan HIV/AIDS itu kembali memojokkan sejumlah kuli tinta yang hadir. Katanya, wartawan terlalu mengedepankan sisi nilai jual berita, bukan kemanusiaan saat melakukan peliputan penderita HIV/AIDS (si nara sumber, Slamet Riyadi, dari Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan (LP3Y) Jogjakarta, juga menyebut kesalahan wartawan menyebut penderita, untuk seorang angka orang dengan HIV/AIDS ).
Wuih, semua 'malu' yang aku punya, rasanya berkumpul jadi satu. Kembali aku bercermin, apa separah itu kesalahan seorang wartawan yang telah bertahun-tahun menjalani profesi yang sekaligus hobby itu.
''Kalau meliput terkait berita HIV/AIDS, jangan sekali-kali menyebut nama, umur dan alamat. Dan ini masih sering terjadi, dan berakibat hilangnya hak-hak ODHA,'' kata si nara sumber tadi kembali memukul saraf positifku.
Pertanyaan-pertanyaan kembali berkecamuk saat si nara sumber terus memojokkan seorang wartawan yang SALAH itu. Apa benar, teman se profesi dengan aku masih saja bodoh dengan melakukan hal-hal tak semestinya, seperti yang disebut?. Apakah lagi, selama ini, wartawan di mata para aktivis 'pendingin' itu tak pernah mengedepankan sisi-sisi educatif dalam menyajikan berita mengenai 'korban sex bebas, dan penggunaan narkoba' ini?.
Ampuuuunnnn, rasanya aku ingin berontak. Tak tahukah mereka, bahwa wartawan juga ngerti betul apa yang dituduhkan itu. Dan hanya wartawan BODOH yang lupa dengan kode etik peliputan (termasuk liputan HIV/AIDS).
Geraaaaammmm, saat si nara sumber pernah menyebut kesalahan seorang wartawan yang memampang penuh wajah dan nama seorang ibu (ODHA) di salah satu media televisi beberapa waktu lalu, yang berimbas, si ODHA dihakimi sang anak yang sebelumnya tak tahu jika ibunya seorang ODHA.
GOBLOK!!!!!!!!, siapa sih wartawan yang dimaksud nara sumber, yang pelan-pelan mulai aku kagumi kepintarannya itu?. Apalagi, si nara sumber ini menampakkan keseriusannya untuk melindungi para ODHA 'tak sengaja' maupun 'sengaja' itu.
Kutarik kesimpulan, bahwa memang, tak semua insan jurnalis itu 'pintar' dan beradab, yang selalu mengedepankan sisi nilai jual dan kepentingan perusahaan dalam melakukan peliputan. Hingga, orang yang hampir kehilangan harapan hidupnya itu dijadikan obyek menarik.
Jika tak ingin dianggap BODOH lagi, lakukan hal ini :
Jangan sesekali-kali menyebut nama, umur, dan alamat ODHA.
Jangan menyebut 'penderita', karena itu salah besar. Tulis ODHA, bukan penderita!!!!!.
Jika mau memampang wajah penuh si ODHA, minta ijin dulu, jangan asal jepret dan menekan tombol record saja.
Ingat, mereka juga memiliki harapan untuk bisa bergabung dengan masyarakat luas. Jangan menilai mereka hina. Kita lebih HINA dari mereka, jika kita terjang kode etik berhubungan dengan para ODHA.
0 komentar:
Posting Komentar