Selasa, 18 November 2008

Kuliah Jurusan Sakit Hati


Jarum jam menunjukkan pukul 09.15, saat itu aku sedang menjalani rutinitas, ditemani sebuah kamera dan pena, dan beberapa buku catatan kecil. Tiga alat kerja ini membawaku ke sebuah tempat yang di sana terdapat ribuan pengangguran—yang ingin ”berjudi” menjadi calon pegawai negeri sipil.
Wuih, ternyata benar dugaanku. Di setiap lorong ruangan dan loket pendaftaran, penuh sesak dengan kaum yang katanya lebih mudah mencari kerja itu. Beberapa dari mereka tampak kelosotan sembari asyik mengisi formulir. Teliti, semua berkas mereka siapkan sesuai dengan warna amplop yang diminta panitia.
Kali ini, mataku tertuju pada satu ruangan yang laing banyak ditunggu. Tepatnya di gedung paling belakang, ribuan orang berjejal ingin mendapatkan tempat paling depan. Desakan, dorongan dan aksi saling sikut tampak terlihat di barisan. Kaum perempuan pun harus ikut bertarung dengan para lelaki—yang tentu saja lebih punya tenaga.
Ingin mengabadikan momen terbaik, aku mencoba menaiki tangga, tak jauh dari kerumunan orang ini. Satu, dua, hingga tiga kali jepret, aku sudah merasa puas. Namun, aku tak segera beranjak dari tempat berketinggian sekitar 3 meter terbuat dari kayu itu.
Dari bawah, aku dipanggil seorang pria jangkung berusia tak lebih dari 25 tahun. Seketika itu aku menghampiri dan sejenak mendengar apa dikatakan. ”Mas, itu-tu, banyak pendaftar, berkasnya dikembalikan,” kata pria tadi, saat kuusut, dia lulusan DII Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) lokalan di Mojokerto.
Tertarik juga aku mendengar cerita pria ini. Lantas dia nyerocos, bagaimana pengalalamannya selama tiga jam ngantre ternyata tak membuahkan hasil. Ijazah yang ia kantongi, tak dikehendaki panitia. ”Hanya ijazah DII dari perguruan tinggi negeri (PTN) saja yang diterima. Ijazah saya tak laku,” protes pria ini dengan nada kesal setengah mengadu.
Uh, seketika perasaanku berubah. Pena dan block notes kupaksa keluar dari tas. Terus kugali keluhan pria yang mengaku mengenalku itu. Dengan nada sedikit memerintah, pria ini memintaku agar menanyakan kejanggalan ini kepada panitia—yang sebelumnya telah ia datangi. Akupun segera memastikan kesana.
Di ruang informasi, tampak dua orang—pria dan wanita berpakaian dinas. Dua orang ini ternyata sedang sibuk melayani protes ratusan pendaftar. Aku semakin yakin, jika yang dikatakan pria tadi adalah benar : panitia hanya menerima lulusan DII dari PTN untuk mengisi formasi guru SD.
Sesaknya pemrotes, memaksa aku untuk menghentikan niat untuk bertanya kepada dua petugas informasi ini. Sedikit jahil, aku mencoba melempar pertanyaanku kepada salah satu dari mereka. ”Iya, ijazah DII saya tidak diterima. Katanya hanya menerima PTN, tapi ada satu PTS yang juga disebut bisa diterima,” ungkap seorang perempuan berjilbab mengadu.
Semakin yakin saja aku, jika pendaftaran CPNS ini tebang pilih. Bayanganku, pasti ada ribuan pendaftar lain yang bernasib sama dengan dua orang terakhir yang mengadu itu. Perempuan ini malah mengumpat kenapa dia susah-susah duduk dibangku kuliah selama dua tahun lalu. Mahalnya biaya dan banyaknya tugas sebagai calon pengajar, seakan ingin ia tarik kembali. ”Trus buat apa kuliah. Kalau ijazah tak laku, jadi PNS hanya mimpi,” gerutu perempuan itu lebih serius.
Ternyata benar. Salah satu dari panitia mulai membuka mulut. Mereka memang sengaja membuat keputusan untuk tak ”mengakomodasi” lulusan non PTN. Gila!!!!! Trus mau dikemanakan ribuan eks mahasiswa ini. Aku sempat berhitung, jika dalam setahun ada seribu mahasiswa yang lulus dari PTS di Mojokerto, akan ada puluhan ribu dari mereka yang tidak berhak memimpikan jadi PNS—yang katanya, kerja nyante, suka korupsi dan menjunjung tinggi prinsip asal bapak senang (ABS) itu.
Aku jadi berbalik ke masa tiga tahun silam. Saat aku mengenakan jubah warna hitam dan kalung dari kain yang bermata kuningan itu. Tersadar dengan sendiri : beruntung aku tak ikut jejak ribuan eks mahasiswa ini. Jika iya, penolakan yang sama akan terjadi padaku. Tentunya, rasa sakit itu pasti akan datang.

(Makanya, jika tak pintar, jangan kuliah di PTS. Jika tak kaya, jangan kuliah. Dan jika ingin tak sakit hati bagi lulusan PTS, jangan daftar jadi PNS). Rabu, 19/11/08 . 02.23

2 komentar:

RRHakim mengatakan...

ending yang menarik mas. kata tulisan di sebuah kaos oblong, "orang miskin dilarang sakit". Dan kelak, akan ada rambu-rambu dekat wc umum, "WC hanya untuk yang punya NPWP"

ida mengatakan...

PNS kerja nyante?? wuahh,di tempatku ga berlaku tu.. yg ada temen2 pada lembur laporan siang malem...diuber-uber deadline dr kantor pusat.. ^_^