Jumat, 20 Maret 2009

Gegar Budaya Sang Ponari


Bocah itu belum genap berusia 10 tahun, dan masih duduk di bangku sekolah dasar. Nama besar sebagai seorang dukun cilik, telah membuat Ponari kehilangan jati diri.

Sekilas melihat perjalanan Ponari sebelum ia dijuluki sebagai dukun cilik, dan menjadi harapan bagi puluhan ribu mereka yang didera sakit. Lahir dari keluarga yang sangat sederhana—dan bahkan bisa dibilang serba kekurangan—Ponari adalah anak pendiam yang tak banyak melayangkan tuntutan kepada kedua orang tuanya.
Dari pola hidup yang serba minim, praktis membuat anak pasangan Kamsin – Mukharomah ini tak banyak berulah. Jangankan membeli mobil-mobilan yang harganya puluhan ribu, untuk sekedar membeli layang-layang saja, Ponari harus menunggu rezeki yang setimpal yang jatuh untuk seorang pencari Bekicot, ayahnya.
Pendiam, tak banyak bertingkah dan bertutur. Itulah predikat yang disandang Ponari sebelum ia menjadi ”Maha Dokter” bagi para pasiennya. Di tengah kesibukannya sebagai ”anak biasa”, ia menghabiskan waktunya hanya dengan bermain, yang tanpa membutuhkan modal. Ia pun bisa menikmati kondisi ini. Serba keterbatasan !!!
Kekurangan sisi ekonomi, tak cukup itu saja yang menghinggapi Ponari. Di bangku sekolah, ia tergolong murid yang terbelakang saat berebut prestasi. Duduk di bangku paling belakang, menunjukkan jika Ponari memang dalam kondisi tak dilirik sang guru. Lagi-lagi, Ponari berada pada sisi Serba keterbatasan !!!.
Awal Februari, dewi fortuna sedang hinggap di atas atap rumah Ponari yang hanya berukuran 4 x 6 meter dan berdinding bambu itu. Ponari yang bertubuh mungil (dan sepertinya kurang gizi) ini mendapati sebuah batu warna kuning keemasan—yang konon katanya—ia temukan diatas kepalanya sesaat setelah petir menyambar. Peristiwa supranatural inilah yang seakan menjadi pembenar, bahwa Ponari mampu menyembuhkan beragam penyakit hanya dengan batu petirnya itu. Dia menjadi lebih !!!
Stigma itu melekat. Bahwa Ponari dipercaya mampu menjadi penyembuh atas semua penyakit yang turun di dunia ini. Mereka yang lumpuh, buta, tuli, atau yang sekarat sekalipun, mencoba kehebatan bocah yang terlahir di kampung santri ini. Dengan hanya mencelupkan batu petirnya ke dalam air mineral, Ponari mampu ”memperdayai” puluhan ribu pasiennya. Tentu saja, karena dia menjadi lebih !!!
Banyaknya pasien yang ditangani, berbanding lurus dengan jumlah rupiah yang didapat Ponari, dari tarif berlabel ”sedekah” itu. Mulai puluhan, ratusan ribu, jutaan, puluhan juta, dan hingga tembus ratusan juta, dengan mudah didapatkan. Kepolosan bocah ini, bahkan bisa membuat wajah kedua orang tuanya tersenyum lebar, karena uang yang didapat sudah dalam angka miliar. Dia menjadi lebih dan lebih !!!.
Dalam situasi awal perubahan hidup itu, Ponari masih bisa menjalani irama lamanya. Kadang, ia harus melayani ribuan calon pasien yang ngantre, meski kondisi fisiknya mulai menolak. Inilah yang membuat Ponari mulai kehilangan jati dirinya. Gegar budaya sang Ponari mulai tumbuh. Ponari mulai berubah !!!!!
Saat kedudukan, rupiah, dan segala keinginannya bisa dipenuhi, gegar budaya itu pelan-pelan terjadi. Bocah yang sebelumnya dengan ”khusyu” mengobati pasiennya itu, mulai menampakkan perubahan. Mulailah, ia mengobati sembari bermain handphone, yang seumur-umur belum pernah ia pegang. Untuk sekedar mencelupkan batu petirnya, Ponari harus meminta tolong seseorang yang juga menggendongnya. Ponari terus berubah !!!!!
Puas bermain dengan telepon genggam keluaran terbaru, Ponari ingin menambah dosis. Kali ini, dia mulai mengenal senjata Tukul Arwana ‘laptop’. Benda itu seakan mengalahkan segalanya di mata Ponari. Waktu senggang, atau bahkan pada saat ia ingin mengobati, alat ini menjadi teman baginya. Belum lagi, ia sempat minta handy talky (HT) milik anggota polisi dan TNI yang menjaganya. Perlakuan istimewa dari dua aparat keamanan itu, membuat Ponari semakin berubah !!!!!.
Ponari menjadi makhluk yang paling diharapkan, setelah dua minggu lebih memilih meliburkan diri. Puluhan ribu manusia semakin menempatkan Ponari ke posisi yang paling pucuk. Bahkan, gawe besar Pemilu 2009, tak segempar panitia yang terus berupaya melanggengkan bisnis yang serba menguntungkan itu. Ponari juga menjadi pemberi rezeki bagi ribuan warga sekitar, menunggangi ketenarannya.
Lama tak mengobati, gegar budaya dari diri Ponari semakin menjadi-jadi saja. Congkak, mulai tumbuh dari bocah fenomenal ini. Sambil berdiri tinggi diatas meja, ia menyiramkan air pasien ke muka mereka masing-masing. Tampak sekali, jika Ponari mulai menikmati posisinya, yang serba diberi kemakluman. Ibu tua renta dengan memakai jilbab, tak luput dari siraman bocah seumur jagung itu. Ponari mulai kelewat batas.
Pesan agar menghormati yang tua, tampaknya tak pernah digubrisnya. Di tengah keasyikan mengobati pasien dengan cara tak sopan itu, Ponari masih saja sempat menambah deret panjang kebrutalannya. Seorang polisi, tak tanggung-tanggung, seorang kapolsek, menjadi sasaran kebrutalan Ponari. Dua kali tendangan kakinya mendarat di badan kapolsek, yang memiliki wilayah pengamanan di daerah itu. Gegar budaya itu semakin menjadi-jadi saja.
Ironisnya, ada saja yang mendukung gegar budaya yang kelewatan itu. Seorang anggota TNI dengan seragam lengkap-kap, menanting sebuah ember besar berisi air dihadapan sang raja Ponari. Pria bertubuh kekar ini, dengan pasrah meminta kesembuhan dari seorang bocah yang belum baliq. Ketika pria bertampang garang itu memejamkan mata, seketika Ponari menyiramkan air ke muka penjaga teritorial itu. Semakin pasrah anggota TNI ini, semakin bangga saja Ponari.

Ponari Menjadi Cermin
Mengintip dari sisi lain, ada banyak pelajaran dari seorang Ponari. Batu ajaib itu, seakan menjadi tamparan keras bagi para ahli kesehatan. Membeludaknya pasien pengobatan supranatural ini, seakan menyajikan fakta jika biaya kesehatan semakin tak terjangkau oleh masyarakat. Cukup dengan lembaran ribuan, pasien sudah mendapati keyakinan akan kesembuhan. Berbeda dengan seorang dokter, yang mewajibkan pasien untuk merogoh kocek dalam-dalam, dan kerap membuat keder saat menghadapi korps berbaju putih ini.
Tamparan bagi medis lagi, Ponari menunjukkan fakta lain, yakni tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dokter mulai luntur. Entah karena seringnya kasus malapraktik, atau memang, masyarakat banyak yang menemui kekecewaan dengan rawatan dokter. Ponari yang hanya seorang bocah ingusan itu, harus beradu dengan seorang dokter, yang memakan biaya tak sedikit untuk mendapatkan gelar. Bahkan, Ponari seakan menang dalam pertarungan tak seimbang ini.
Gegar budaya yang ditunjukkan Ponari, seakan menunjukkan nilai-nilai bangsa ini. Seorang anak yang sudah tak patuh lagi pada orang tua ; hidup berlebih bagi mereka yang mulai mengantongi rupiah ; kesombongan bagi mereka yang memiliki kelebihan ; dan kebodohan kelompok yang selama ini dianggap memiliki intelektual lebih (saya tak perlu menyebut kelompok ini). Jika boleh ditarik lagi dalam pesta demokrasi waktu dekat ini, sikap baru Ponari itu, mungkin saja menunjukkan sikap para politisi. Yang selalu mengalami gegar budaya saat berada di kursi terhormat. Minta dihormati, memandang rendah orang lain, dan bergaya hidup serba mewah, serta lupa akan komunitas dimana dia dilahirkan.
Semoga saja gegar budaya Ponari itu, semata-mata untuk menunjukkan fakta-fakta yang perlu kita pelajari bersama. Bukan sikap sesungguhnya, yang justru membuat Ponari akan dibuang jauh-jauh setelah tak lagi mampu mengobati. Ponari tetap saja punya masa depan yang normal, sebagai anak yang butuh proses normal pula. Kembali ke bangku sekolah, bermain, mengerjakan PR, dan menatap masa depan melalui pendidikan yang didapat, kendati pendidikan di negeri ini masih jauh dari harapan. (*)

4 komentar:

dewi mengatakan...

whahaha pgn tau kelanjutan dr ponari nendang pak pol trs reaksi pak pol gmn mas? nice shot..

tritus julan mengatakan...

Eh, soal reaksi pak polisinya, ntaraja tunggu edisi berikutnya.

ida mengatakan...

pancen arek cilik iku njaluk dikethaki kok :p

aku ndak bisa bilang apa2. entah yg dialami ponari itu berkah, cobaan atau hukuman...wallahualam..
semoga fenomena storm stone alias watu gledhek ini juga bisa bikin melek penguasa negeri ini untuk bisa lebih memperhatikan wong cilik..
^_^

Anonim mengatakan...

tulisan yg menarik,,
fenomena "pemahaman" rakyat Indonesia tercermin dr sini, bagaimana nilai itu hilang karena ekonomi dan keyakinan lebih pada ego ketimbang logika..