Jumat, 23 April 2010

Harus Rela Pulang Lebih Awal Jika Ada Rapat Desa


Pendidikan menjadi salah satu program yang didengung-dengungkan pemerintah. Sayangnya, fasiltas pendidikan yang memadai tak didapatkan sejumlah siswa di SDN Warugung I, Kecamatan Kutorejo, Kabuapten Mojokerto.

TAK ada aktivitas pemerintahan yang tampak di kantor Desa Warugung, Kecamatan Kutorejo, pagi kemarin. Di induk kantor, hanya ada satu petugas kebersihan yang sedang sibuk mengepel lantai. Halaman kantor pemerintahan di tingkat desa itupun tampak lengang.

Denyut aktivitas baru terlihat setelah terdengar suara anak-anak yang muncul dari salah satu ruangan. Ruangan itu adalah balai pertemuan yang biasa dipakai aparat desa dan warga setempat untuk bekumpul. Di dalamnya, ada 22 siswa kelas VI SDN Warugunung dan satu pengajar yang sedang menjalani aktivitas belajar mengajar.

Para siswa-siswi ini tengah mengikuti pelajaran matematika yang sedang diajarkan sang guru. Di ruangan berukuran 5 X 8 meter itu, mereka tetap menjalani kegiatan belajar mengajar (KBM) dengan serius. Meski meja belajar mereka terlihat usang, ditambah kursi yang terbuat dari plastik. Tetap saja mereka bisa menikmati.

Bukan tanpa alasan mereka harus mengungsi dari lingkungan sekolah yang berada tepat di depan kantor Desa Warugunung itu. Sudah setahun ini, para siswa tersebut tak memiliki ruangan kelas. Dua ruang kelas yang ditempati sebelumnya, sudah dalam kondisi yang tak layak pakai. Bangunan atap yang jebol, mengharuskan mereka untuk menyelamatkan diri dan mengungsi.

Menempati balai pertemuan kantor desa yang disulap menjadi kelas belajar adalah satu-satunya pilihan bagi para siswa dan guru. Karena bagian atap kelas yang nyaris ambruk itu, tak juga mendapatkan perbaikan. Sementara siswa sendiri sudah merasa tak aman jika tetap bertahan di kelasnya. ”Wali murid juga tak bersedia jika anak-anak mereka tetap menempati kelas yang sudah rusak itu,” ujar Margono, Kepala Sekolah SDN Warugunung I.

Saat ruang kelas VI dinyatakan tak layak huni, sebenarnya pihak sekolah memilih cara lain agar para siswanya tetap bisa belajar di ruang sekolahnya sendiri. Namun, solusi masuk siang yang ditawarkan sekolah ternyata tak mendapat persetujuan dari wali murid. ”Akhirnya kita koordinasi dengan kepala desa. Dan kami dipinjami balai pertemuan sebagai pengganti ruang belajar kelas VII,” tuturnya.

Sebenarnya, pihak sekolah sudah menyampaikan kondisi ini kepada Dinas Pendidikan (Dindik) setempat. Ajuan dana untuk rehab gedung juga telah diajukan. Namun sejauh ini, belum ada dana yang dikucurkan dari dinas itu. ”Bangunannya memang sudah lama. Atapnya sudah melengkung dan rawan ambruk,” tukasnya.

Belajar di balai pertemuan, bukan berarti para siswa dan guru tak menemui masalah.
Namanya saja milik desa, gedung itu juga kerap dipakai untuk kepentingan aparat desa. Tak jarang, siswa harus mengalah jika ada pertemuan aparat desa di tempat itu. ”Kalau seperti itu (ada rapat desa), siswa kami pulangkan lebih awal. Mau bagaimana lagi, memang statusnya kita dipinjami,” ungkap Sutiani, salah satu guru.

Terlebih jika ada kegiatan di kantor itu yang melibatkan banyak orang. Otomatis kegiatan belajar siswa juga terganggu. Padahal dalam kondisi belajar, siswa harus mendapati suasana yang tenang. ”Contohnya saat pembagian raskin dan kegiatan lain yang melibatkan banyak orang. Tentu saja mengganggu. Tapi kami sadar dengan kekurangan ini,” ujarnya.

Belajar di balai pertemuan ini, ternyata dianggap lebih nyaman oleh para siswa. Bukan lantaran kondisi ruangan yang memadai, namun mereka justru ingin mendapatkan keamanan dalam belajar. Minimal, ditempat itu yang baru itu mereka tak lagi memiliki kekhawatiran akan keselamatan. ”Di sini (balai pertemuan) lebih aman. Tidak takut atap gedung ambruk. Tidak seperti di kelas yang lama,” aku Desi Fitriyanti, salah satu siswa. (tritus julan)

0 komentar: