Rabu, 20 April 2011

Merataplah Kau Kartini


"Kaiminingsih oh Kaimingsih"










SEPASANG suami-istri tengah sibuk bergelut dengan tanah di sebuah petak sawah. Terik. Namun sengatan sang surya tak menyurutkan keduanya untuk menyelesaikan tugas masing-masing. Mereka berdua tetap saja bersemangat meski keringat terus mengucur dari seluruh pori-porinya.

Tak sempat berteduh. Maklum, ”ruang” kerja mereka tanpa atap. Hanya hamparan tanah yang penuh dengan lumpur dan benda-benda keras seperti cangkul. Tak tampak beristirahat. Hanya sesekali, salah satu dari mereka secara bergantian meneguk air putih yang merupakan bekal dari rumah.

Kaiminingsih, perempuan ini, kelihatan cukup serius menapaki tahap demi tahap pekerjaannya. Adonan tanah, dengan cekatan ia cetak menjadi batu bata bata. Deret demi deret ia selesaikan dengan tanpa ada keluhan. Ia berkejaran dengan hasilnya. Jumlah batu bata yang ia cetak, berbanding lurus dengan rupiah yang ia dapatkan.

Setelah adonan tanah habis, ibu dua anak yang masih berumur 31 tahun ini tak lantas beristirahat. Tahap lanjutan ia kerjakan. Batu bata yang sudah kering, ia sisir agar presisi. Satu demi satu batu bata ia habiskan dan mengangkutnya di tempat pembakaran (linggan) untuk ditata. Begitu siklus keseharian pekerjaan yang dilakoni warga Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto itu.

Sementara Daman, suami Kaiminingsih, bekerja lebih keras lagi. Kerasnya tanah harus ia taklukkan dengan mata cangkulnya. Ia menyulap bongkahan tanah menjadi adonan batu bata yang siap dikerjakan sang istri. Bapak berumur 38 tahun itu menjadi mitra kerja Kaiminingsih selama 10 tahun menjadi buruh cetak batu bata.

Kaimingsih adalah kader Kartini yang memegang teguh prinsip bahwa perempuan tak harus berada di dapur, sumur dan kasur setiap harinya. Kaiminingsih sadar jika dalam era kekinian, perempuan juga berhak dan bahkan wajib keluar rumah untuk mencari penghidupan, bukan hanya sebagai sub ordinat kaum laki-laki.

Tak mudah untuk menjadi Kaimingsih. Selepas subuh, ia harus berada di tengah sawah untuk memulai lakon sebagai buruh cetak batu bata. Sebelum itu, ia juga harus menuntaskan tugas sebagai ibu rumah tangga yang menyiapkan sarapan pagi untuk kedua anaknya. Itu dilakukannya setiap hari tanpa putus. ”Pulangnya sebelum magrib,” kata Kaimingsih disela-sela mencetak batu bata.

Namun, kerasnya upaya Kaimingsih mengais rezeki, tak berbanding lurus dengan hasil yang ia capai. Dari aktivitas buruhnya itu, rata-rata dalam seminggu ia hanya mengantongi uang Rp200.000. Nilai upah itu termasuk tenaga suaminya. ”Sebulan, kami berdua rata-rata mendapatkan upah Rp800.000. Uang itu untuk menyekolahkan satu anak dan kebutuhan sekeluarga,” tutur kader Kartini yang hanya mengenyam bangku Sekolah Dasar (SD) ini.

Tentu saja, uang sebesar itu tak akan cukup bagi Kaimingsih dan keluarganya untuk merdeka secara ekonomi. Sepuluh tahun membina rumah tangga, jangankan rumah, sejengkal tanah saja tak mampu ia beli. Hingga kini, ia hanya menumpang di rumah neneknya. ”Mana cukup untuk beli apa-apa. Untuk makan dan biaya sekolah anak saja sudah pas-pasan,” akunya jujur.

Ia tak tahu sampai kapan melakoni pekerjaan yang bagi kebanyakan orang dianggap berat itu. Yang Kaimingsih tahu, ia tak bakalan bisa bekerja di tempat yang nyaman, apalagi ruangan yang berpendingin. Impiannya untuk bisa bekerja di pabrik saja, harus ia buang jauh-jauh. ”Tak ada pabrik yang mau menerima karyawan yang hanya berijazah SD,” ungkapnya lirih.

Di hari Kartini ini, perempuan dusun ini masih punya harapan. Meski memegang prinsip perempuan harus bekerja, namun ia berharap agar pemerintah lebih peduli dengan kaum perempuan. Terutama dalam hal jaminan pekerjaan. ”Saya hanya ingin, kaum perempuan tidak bekerja berat seperti saya ini. Siapa yang tak ingin kerja ringan dan bisa dengan leluasa mengurus anak di rumah,” ujar Kaimingsih balik bertanya. (*)

0 komentar: