Minggu, 26 Juni 2011

Tugas Saya Tak Akan Pernah Tuntas


Setelah 22 bulan mendekam di rumah sakit dr Soetomo Surabaya, kembar siam asal Jombang Rochman – Rochim balik ke kampung halamanan. Tugas berat kini dipikul kedua orang tuanya, Anis Mulyo – Supinah.

Tumpukan kursi plastik masih berserakan di jalan desa depan rumah Anis Mulyo di Desa Gondek, Kecamatan Mojowarno, siang kemarin. Dua tenda mini juga masih tertancap menutup penuh jalan desa tak beraspal itu. Aroma sisa-sisa penyambutan bocah kembar itu masih kental terasa.
Sisa-sisa pesta kecil menampakkan betapa meriah penyambutan yang dilakukan sejumlah warga dan para pejabat Rabu (22/6) sekitar pukul 17.00 sore. Meski tampak sederhana, suasana kerinduan terhadap bocah kembar itu menyeruak. Maklum, ini kali pertama Rochman – Rochim menginjak kampung halaman sejak dilahirkan 4 Sepetember 2009 silam.
Beberapa tetangga juga masih menikmati kedatangan warga baru itu. Beberapa dari mereka seakan tak puas memandangi bocah bertubuh gemuk dan berkulit putih itu. Ikut larut dalam kebahagiaan penghuni rumah yang terbilang sederhana ini dengan sesekali bergantian menggendong.
Anis Mulyo dan Supinah sepertinya tak ingin melepas ingatannya pada momen terakhir saat mereka dan kedua anaknya meninggalkan rumah sakit dr Soetomo. Mereka berdua didampingi beberapa tetangga dan saudara, tengah asyik melihat televisi yang menayangkan keberangkatan mereka ke Jombang. ”Dokter itu yang banyak membantu kami,” kata Anis Mulyo menujuk salah satu dokter yang tampak di layar televisi.
Terik matahari memang membuat gerah siang itu. Suasana seperti ini baru kali pertama dialami Rochman- Rochim. Sepanjang umurnya, ia selalu berada di ruangan ber-AC rumah sakit. Tampaknya, Rohman, kakak kandung Rochim, terganggu dengan hawa panas rumahnya. ”Kegerahan, selalu minta keluar kamar,” tambah Anis Mulyo.
Sementara Rochim, yang dalam operasi pemisahan kebagian alat kelamin dan anus, terlihat nyaman-nyaman saja. Ia tertidur pulas di kamar yang hanya berukuran sekitar 2 X 2,5 meter milik orang tuanya. Sekitar dua jam, ia terjaga dan kembali beraktivitas layaknya anak kecil seumuruannya. ”Mereka aktif dan selalu minta jalan. Tapi tetap butuh dipandu,” lirih bapak yang sehari-hari bekerja sebagai kuli bangunan ini.
Sekilas, dua kembar ini sama seperti balita lainnya. Mereka tampak agresif ingin bermain. Hanya saja, si Rochman tak bisa menyembunyikan jika dirinya dalam kondisi belum sehat total. Kemana-mana, ia selalu membawa selang yang berfungsi sebagai tempat buang kotoran dan air seni. Tapi, ia tak terlihat begitu terganggu dengan kondisi itu.
Dua sepeda hadiah dari rumah sakit menjadi benda yang paling disukai. Meski dalam kondisi yang belum sembuh total, keduanya meminta untuk naik di sepada roda tiga itu. Terlihat ceria, terutama saat kedua orang tuanya membantu mendorong. Namun dalam kondisi seperti ini, kedua orang tuanya tetap menjaga benda-benda kotor agar tak terjamah.
Lega, tentu saja itu kata pertama yang keluar dari mulut Anis Mulyo. Sebelumnya ia tak pernah membayangkan jika dirinya lolos dari ujian berat ini. Dengan kondisi ekonomi yang serba pas-pasan, ternyata dirinya mampu memisahkan kedua putranya yang menelan biaya tak sedikit. ”Tapi tugas saya belum tuntas. Saya harus mendampingi mereka hingga tua nanti,” ujar Anis dengan nada ikhlas.
Rochman, adalah yang seharusnya mendapatkan dampingan lebih dibanding Rochim. Hingga kini, Rochman tak memiliki alat kelamin dan anus. Dan diperkirakan, dia akan bersahabat dengan selang pembuangan hingga umur 6 tahun. ”Sebulan sekali, saya harus mengantarkan kedua anak saya ini ke dr Soetomo untuk kontrol,” ujarnya.
Kedua balita yang memiliki nama lengkap Abdul Rochim dan Abdul Rochman ini harus menjalani deretan pengawasan. Baik dari sisi fisik maupun psikologisnya. Terutama Rochman yang harus menanggung beban dengan kekurangan bagian tubuh yang dialaminya. ”Itu yang saya sedihkan. Saya akan berusaha menghibur Rochman dengan kekurangannya. Dan ini tugas berat,” tambahnya.
Setidaknya, hingga umur 17 tahun, Rochman harus rela hidup tanpa anus dan alat kelamin. Sepanjang itu pula tugas berat kedua orang tuanya diuji. Apalagi ditambah beban tiga anaknya yang lain yang juga butuh perhatian. ”Ada yang kelas 2 SMP, kelas 1 SMP dan kelas 1 SD. Mereka harus mandiri karena kami harus mengurusi adik-adiknya yang dalam kondisi tak normal,” sela Supinah.
Tugas berat mendampingi bayi kembarnya juga dirasakan Supinah. Meski ia terbebas dari segala biaya pengobatan dan perawatan sepanjang hidup keduanya, namun beban psikologis yang ia rasakan tak enteng. ”Tapi saya tetap bersyukur. Hanya orang kecil seperti ini, bisa menjalani pengalaman yang luar biasa,” tukasnya sembari menyebut jika bayinya itu lahir dengan normal di bidan dengan berat total 5,1 kilo gram.
Setelah ini kata dia, dirinya juga tetap berupaya memenuhi kebutuhan lima anaknya. Supinah tetap menjadi buruh tani dan buruh cuci, sementara Anis Mulyo menjadi kuli bangunan. Dengan penghasilan yang bisa dipastikan minim, keduanya harus menanggung beban hidup yang berat. ”Setelah ini kami kembali bekerja. Karena kebutuhan hidup kami juga akan bertambah setelah ini,” tukasnya.
Ia tak henti-hentinya bersyukur dan berucap terima kasih kepada banyak pihak yang ikut terlibat dalam operasi pemisahan anaknya. Terutama kepada para dokter yang berhasil mengabulkan impiannya. ”Semua pihak, tak bisa kami sebutkan satu per satu. Tanpa bantuan dari mereka, mungkin saat ini anak saya masih dempet,” ujarnya.
Kasus Rochman – Rochim menjadi perhatian khusus bagi kalangan medis. Di Jombang sendiri, kini dibentuk tim khusus yang akan memantau perkembangan kedua bocah ini. Setidaknya lima dokter spesialis telah diberi tugas untuk mendampingi. Juga seorang bidan desa yang akan terus memantau perkembangan Rochman – Rochim.
Tim dokter Rochman – Rochim berasal dari RSD Swadana Jombang. Mereka terdiri dari spesialis bedah, anak, rehab medik, psikiatri dan tim ahli gizi. Saat ini, tim memulai kerjanya dengan memaksimalkan fungsi jalan kedua balita ini. Menginjak umur 2 tahun, Rochman – Rochim memang belum bisa berjalan dengan mandiri. ”Itu tugas dokter rehab medik. Sepuluh hari sekali, kami akan memantau perkembangannya sekaligus melakukan terapi,” ungkap Wakil Direktur RSD Swadana Jombang Puji Umbaran.
Tim dokter, tambah Puji, akan melakukan pengawasan dan pemeriksaan secara rutin. Juga melakukan koordinasi dengan tim dokter yang berasal dari rumah sakit dr Soetomo Surabaya. ”Kami sudah siap. Dan pada dasarnya, kami ingin memberikan yang terbaik agar keduanya nanti bisa hidup secara normal,” pungkasnya. (*)

0 komentar: