Minggu, 26 Juni 2011

Nasib Hidung Saya Bagaimana?


Seloroh seorang sahabat sempat membuat perut mual setelah kekenyangan tertawa. Sahabat yang tak lagi bergigi jangkap itu menyebut kotanya menjadi lautan ikan asin. ”Wis kotane cilik, ambu iwak asin pisan,” begitulah kira-kira kalimat yang keluar dari mulut sahabat ini.
Kota Mojokerto, adalah kota yang ia sebut. Kata kecil, memang identik dengan Kota Mojokerto yang hanya memiliki 18 kelurahan dari 2 kecamatan. Lima tahun lebih, kota ini memiliki masalah yang tak kunjung beres. Bisa dibilang masalah kecil, karena masalah itu hanya berhubungan dengan hidung.
Setiap malam, warga disuguhi aroma tak sedap yang mirip bau ikan asin di lorong pasar. Semakin kencang angin berhembus, semakin kencang pula bau itu menusuk hidung. Warga kota seakan hidup di tengah pasar yang penuh dengan ikan asin. Kota Onde-Onde, berubah menjadi Kota Ikan Asin.

Tentu saja, bau itu datang bukan tanpa sebab. Bukan lantaran di kota ini memiliki pasar ikan atau bahkan berada di pesisir pantai. Bau menyengat muncul dari salah satu bangunan pabrik yang berada di sisi timur kota. Pabrik ini memproduksi tepung ikan yang bahan dasarnya saja sudah berbau busuk.
Semua warga tahu dari mana sumber bau busuk ini. Dan semua menyebut PT Bumi Indo menjadi penyebabnya. Protes warga kota yang terdidik, hanya keluar dari mulut dengan nada rasan-rasan. Toh sejauh ini, tak ada upaya dari pemerintah daerah setempat untuk menghentikan bau tak bersahabat itu.
Protes dari mulut ke mulut itu rupanya membuat petinggi kota ini angkat bicara. Sayangnya, sang wali kota tak malah memberikan jawaban atas keluhan warganya itu. ”Saya juga bingung. Sejak saya memimpin kota ini tujuh tahun yang lalu, pabrik itu sudah ada. Dan kondisinya memang seperti itu,” kata sang wali kota.
Si wali kota dengan terkekeh mengakui bau tak sedap itu sering ia rasakan. Bahkan di rumah tinggalnya yang terbilang nyaman dan aman dengan penjagaan ketat Satpol PP. Lagi-lagi, dia mengaku bingung. Apalagi saat menghadapi pemilik pabrik yang hanya berjanji tanpa merealisasi agar bau tak sedap itu lenyap. Nyatanya, kata wali kota, upaya pemilik pabrik tak kunjung berbuah harum.
Dalam kebingungan itu, ia juga sempat berpikir standart sebagai pucuk pimpinan kota. Mengerahkan anak buah untuk meninjau lokasi dan menanyakan kembali komitmen pemilik pabrik, untuk menggunakan mesin yang konon bisa mengurangi bau busuk saat produksi berlangsung. Sayangnya, tak ada jaminan pasti dari langkah standart itu. Lantas, kepada siapa ratusan ribu warga kota ini menitipkan nasib hidungnya?.
Warga kota, jangan protes dulu. Di seberang sana, masih banyak warga lain yang mengalami nasib lebih buruk. Hidung, mulut, tenggorokan dan bahkan perut mereka sudah diincar oleh limbah pabrik ini. Di sepanjang sungai tempat di mana limbah cair itu dibuang, warga juga menderita. Hidung mereka ditusuk bau tak sedap, sementara perut mereka ditinju air sumur yang tercemar.
Warna air sumur warga yang sudah termasuk luar kota ini, berubah menjadi kuning kecoklatan. Bukan lantaran pewarna, namun karena resapan air sungai yang bercampur limbah cair. Ditambah lagi tebaran berton-ton kaporit di sungai yang diberi nama ”Sadar” itu. Sungai itu sudah pingsan, dan tak lagi sadar setelah menampung berjuta-juta meter kubik limbah.
Sumur warga telah mati. Sumur bundar, hanya menjadi cerita, dan berganti menjadi sumur pipa. Sumur pipa dengan kedalaman tak wajar itupun juga tetap mengancam perut warga. Jika dipaksa minum air ini, perut mereka akan berontak. Sayangnya lagi, tak ada bapak yang bisa mendengarkan drama protes hidung dan perut ini. Lantas, siapa yang mau menjadi bapak dari hidung dan perut warga kota dan luar kota itu? (*)

0 komentar: