Rabu, 29 Juni 2011

Saya Diamanahi Harga Rp 10 Ribu

Suara anak laki-laki tiba-tiba terdengar dari depan pintu gerbang rumah. Tepat saat adzan Isya berkumandang di masjid sebelah rumah. Suara itu halus, dan dengan fasih mengucap “Assalamualaikum”. Aku yang ada di lantai bawah sibuk urusan dunia, dengan spontan menjawab salam itu dengan nada agak keras dan berharap jawaban salam terdengar olehnya.
Tangga aku turuni dengan cepat, dan tak ingin si anak ini menunggu lama setelah jawaban salam terlontar dari mulutku. Aku tak begitu jelas dengan wajah si anak, lantaran penerangan di depan rumah yang terbilang minim. Langsung saja aku menanyakan keperluannya saat itu.

”Kulo saking Pondok Pesantren Annur Fatma, Trawas. Badhe nyampeaken amanah pondok kangge sadean keripik tempe. Punika hasile lare-lare pondok. Tumbas keripik niki kaliyan amal kangge anak yatim”. (Saya dari Pondok Pesantren Annur Fatma, Trawas. Mau menyampaikan amanah pondok untuk berjualan keripik tempe. Beli keripik ini sekaligus amal untuk anak yatim). Begitu ucap bocah berumur kisaran 8 tahun itu.
Aku langsung mengambil sebungkus keripik yang ia sodorkan dan langsung bertanya berapa harga yang ia patok. ”Kulo diamanahi pondok regi sedoso ewu pak”. (Saya diamanahi pondok harga Rp 10 ribu pak). Ucap dia lagi dengan nada halus dan menurutku sangat sopan. Aku pun kembali ke dalam rumah untuk mengambil lembaran sepuluh ribuan.
Bungkus plastik aku robek dan ingin segera merasakan keripik tempe tipis itu. Kriuk, rasanya menurutku tak sebanding dengan harganya. Bukan terlalu mahal, tapi justru terlalu murah. Isi cukup banyak dan rasanya pun terbilang lezat dibanding keripik tempe bungkus kebanyakan. ”Anak pondok bisa membuat tempe selezat ini,” pikirku.
Aku sendiri tak tahu, apakah benar keripik tempe ini produksi para santri. Tapi pikiranku justru terganggu dengan kalimat yang diucapkan bocah itu tadi. Dia diamanahi harga Rp10 ribu oleh pondoknya. Apakah benar ; terlalu murah ; terlalu jujur dan menurutku si bocah ”terlalu” taat dengan aturan pondoknya. Malam hari, ia harus keliling perumahan untuk menuruti amanah pondok. Entah dia naik apa, yang jelas lokasi pondok dan rumahku berjarak sekitar 35 kilo meteran.
Pertanyaan-pertanyaan itu cukup mengganggu pikiranku. Dan aku menyesal, kenapa aku tak bertanya nama, umur, kelas berapa ia sekolah, masih adakah orang tuanya, naik apa dia berjualan ke kota, dan di mana letak persis pondok amanahnya itu. Aku baru sadar, ternyata aku terlalu cuek dengan si bocah berkulit hitam legam dan berkopyah putih tadi.
Tak kusangka, si bocah ini datang kembali selang satu bulan berikutnya. Kali ini ini ia tak lagi membawa keripik tempe, melainkan keripik ketela rambat berwarna biru. Dengan gaya dan ucapan yang sama, ia kembali menawarkan produk yang katanya, buatan para santri yatim. Buru-buru saja aku mengambil lembaran sepuluh ribu dan kutukar dengan keripik ketela nan (kembali) lezat itu.
Dan bodohnya lagi, aku kembali lupa menanyakan deretan pertanyaan yang ada di otakku dalam pertemuan sebelumnya. Kembali aku menyesal dengan sikap acuh tak sengajaku itu. ”Kulo diamanahi pondok regi sedoso ewu pak,” kalimat itu terus terngiang dan cukup menggangu pikiranku. Bocah sekecil itu ; dengan niat setulus itu ; dengan kejujuran seperti itu dalam pikirku.
Tak disangka lagi, dia kembali datang ketiga kalinya. Dan kali ini dengan membawa setumpuk kelender bergambar aktivitas para santri dan kyainya. Lagi-lagi, kalimat salam empuk dan ‘Kulo diamanahi pondok regi sedoso ewu pak’ kembali terlontar. Aku pun masuk ke dalam rumah dan menyetujui tawarannya itu. Tapi maaf, saya tak harus bercerita apa yang saya lakukan setelahnya. Dan ternyata, tiga kali pula penghuni rumahku lainnya sudah menemuinya. Yang dilakukan bocah sama ini juga SAMA. Lantas?
(foto : nusantara.org)

1 komentar:

Anshori Zakariya mengatakan...

hehehe......
begtukah Potret Pondok Sekarang?????
ataw itu hanya potongan peristiwa yg kurang kita pahami.