Menyusuri Jejak Kasus Korupsi di Kab Nganjuk
Dua Tahun Berjalan, Separo Masih Jadi PR
NGANJUK (SINDO)- Kasus korupsi Anggaran Rumah Tangga Dewan (ARTD) dan dana Otonomi Daerah (otda) di Kabupaten Nganjuk masih menjadi perhatian khalayak setempat. Kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat eksekutif dan legislatif ini mencuat ke publik sejak 2005 lalu. Namun hingga menjelang akhir tahun 2007 ini, penegak hukum masih menyisakan separo perjalanan. Pasalnya, masih banyak diantara tersangka kasus korupsi yang merugikan negara hingga miliaran rupiah ini, belum menjalani proses persidangan. Beberapa kalangan menilai jika penegak hukum masih ‘lamban’ untuk mengusut tuntas kasus ‘bancakan’ uang negara ini.
Pada pertengahan tahun 2005 lalu, publik dikagetkan dengan adanya temuan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kab Nganjuk tentang adanya dugaan korupsi ditubuh dewan periode 1999-2004. Ditengara, seluruh anggota dewan melakukan korupsi dengan menggunakan Anggaran Rumah Tangga Dewan (ARTD) senilai 6,8 Miliar padatahun anggaran 2001-2003. Dewan telah lalai dengan menggunakan beberapa pos anggaran yang menyalahi Peraturan Pemerintah (PP) No 110 Tahun 2000 tentang Anggaran Keuangan DPRD Tingkat II.
Diantara pos-pos yang diterjang dewan adalah adanya tunjangan jabatan yang tak sesuai, tunjangan kesejahteraan dan dana penjaringan aspirasi masyarakat. Serta dewan telah ceroboh menerima uang muka kredit motor senilai Rp 7,5 juta/orang. Lebih fatal lagi, seluruh anggota dewan menerima uang Laporan Pertanggungjawaban Tahunan (LPjT) bupati sebesarRp 10 juta/orang.
Pada tahun anggaran 2001, segenap pimpinan dewan telah menerima tunjangan jabatan dalam nilai yang cukup besar, yang tak sesuai dengan PP yang berlaku. Tunjangan jabatan untuk Ketua DPRD misalnya, dewan menganggarkan Rp 1.800.000/ bulan. Padahal sesuai aturan, hanya sebesar Rp 630.000. Demikian juga dengan tunjangan jabatan bagi wakil ketua yang seharusnya hanya Rp 534.000, dewan memaksa menerima Rp 1.620.000/bulan. Korupsi tunjangan jabatan diperparah dengan anggota-anggota lainnya yang juga turut menikmati. Anggota yang semestinya tak boleh menerima tunjangan ini, justru menerima Rp1.440.000/bulan. Sehingga dalam kurun waktu satu tahun, dewan menghabiskan dana sekitar Rp788,400,000 untuk pos tunjangan jabatan saja.
Tunjangan Jabatan
Jabatan Per Bulan Orang Bulan Jumlah
Ketua DPRD Rp1,800,000 1 12 Rp21,600,000
Wakil Ketua Rp1,620,000 3 12 Rp58,320,000
Anggota Rp1,440,000 41 12 Rp708,480,000
TOTAL Rp788,400,000
Korupsi dewan kembali berlanjut pada tahun anggran 2003. Dewan menganggarkan uang kesejahteraan untuk pimpinan dan anggota yang nilainya fantastis. Untuk seorang Ketua DPRD menerima Rp 3 juta per bulan, wakil ketua Rp 2,5 juta dan untuk anggota sebesar 2,25 juta. Sehingga, dalam satu tahun anggaran, dewan menerima uang kesejahteraan sebesar 1,242 Miliar. Sedangkan penentuan tunjangan kesejahteraan ini telah mengindahkan PP 10 Tahun 2000, sehingga bisa dikategorikan sebagai tindakan korupsi.
Tunjangan Kesejahteraan
Jabatan Per Bulan Orang Bulan Jumlah
Ketua DPRD Rp3,000,000 1 12 Rp36,000,000
Wakil Ketua Rp2,750,000 3 12 Rp99,000,000
Anggota Rp2,250,000 41 12 Rp1,107,000,000
TOTAL Rp1,242,000,000
Seperti haus untuk mengeruk uang negara, du tahun anggaran yang sama, dewan mengeruk keuntungan dari anggaran jaring aspiirasi masyarakat (jasmas). Dalam pos ini, dewan menganggarkan Rp 2,5 Juta /bulan untuk Ketua DPRD, Rp 2,3 Juta untuk wakil ketua, dan untuk anggota sendiri menerima Rp 2,1 Juta per bulan. Dalam kurun waktu setahun, dewan menghabiskan ARTD sebesar Rp1,146,000,000
Dana Jaring Aspirasi Masyarakat (Jasmas)
Jabatan Per Bulan Orang Bulan Jumlah
Ketua DPRD Rp2,500,000 1 12 Rp30,000,000
Wakil Ketua Rp2,300,000 3 12 Rp82,800,000
Anggota Rp2,100,000 41 12 Rp1,033,200,000
TOTAL Rp1,146,000,000
Belum puas dengan dengan perolehan tunjangan-tunjangan ini, dewan kembali mengeruk keuntungan dari ARTD. Untuk biaya kunjungan dalam daerah, dewan menganggarkan Rp 1,5 Juta untuk Ketua DPRD, sedangkan untuk wakil ketua sebesar Rp 1,25 dan untuk anggota Rp 1 Juta setiap bulannya. Sehingga, dalam satu tahun, dewan menghabiskan dana ARTD sebesar Rp 555 Juta.
Dana Kunjung Tour
Jabatan Per Bulan Orang Bulan Jumlah
Ketua DPRD Rp1,500,000 1 12 Rp18,000,000
Wakil Ketua Rp1,250,000 3 12 Rp45,000,000
Anggota Rp1,000,000 41 12 Rp492,000,000
TOTAL Rp555,000,000
Tak hanya uang ARTD saja yang ‘dijarah dewan’, pada akhir masa jabatan Bupati Nganjuk Soetrisno R tahun 2003 lalu, dewan juga menikmati uang LPjT dari bupati masing-masing Rp 10 Juta. Untuk pelican LPjt bupati ini, dewan meraup uang APBD sebesar Rp 450 Juta. Dari dana APBD juga, dewan menerima uang muka kredit kendaraan roda sebesar Rp 7,5 Juta. Dari 45 anggota dewan, hanya satu anggota yang menolak dana ini. Sehingga jumlah total untuk uang muka kendaraan roda dua ini, dewan menikmati dana APBD yang dikucurkan Soetrisno sebesar 330 Juta.
Uang Muka Kredit Kendaraan Roda Dua
Jabatan Per Bulan Orang Kali Jumlah
Ketua DPRD Rp7,500,000 1 1 Rp7,500,000
Wakil Ketua Rp7,500,000 3 1 Rp22,500,000
Anggota Rp7,500,000 40 1 Rp300,000,000
TOTAL Rp330,000,000
Rupanya, ulah dewan ini membuat geram LSM setempat. Atas laporan sejumlah LSM Kab Nganjuk padatahun 2005 lalu, pihak kepolisian setempat mulai melakukan penyidikan atas kasus ‘bancakan’ ARTD ini.
Alhasil, pertengahan tahun 2007 (Selasa, 19 Juni 2007) Wakil Bupati Nganjuk Djaelani Ishaq, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD, ditahan Kejari Nganjuk. Bersamaan itu pula, Ketua Partai Golkar Nganjuk, Suparman juga menyusul Djaelani menghuni Rumah Tahanan (Rutan) Kelas II B Nganjuk. Setelah proses panjang persidangan, dua pejabat tersebut saat ini beralih status menjadi tahanan kota. Ketua DPRD Nganjuk, Cholis Ali Fahmi, juga tak luput dari kasus korupsi ARTD ini.
Dari persidangan yang digelar hingga dua tahun ini, Pengadilan Negeri yang diketuai Sudarwin, SH, telah memvonis 24 anggota dewan periode 1999-2004 itu. Vonis pertama dijatuhkan PN Nganjuk kepada Marmun pada 29 November 2005 lalu. Marmun divonis dengan pidana penjara 2 tahun dan denda Rp 25 Juta Subsider 5 bulan kurungan. Dari nilai korupsi yang didakwakan Jaksa sebesar Rp220,833,900, Marmun diwajibkan mengembalikan dana yang ia nikmati sebesar Rp105,174,950.
Vonis kedua dijatuhkan PN kepada FA Didik Yudianto, M Fathoni, Kasim, Harijono dan Bambang Puguh pada tanggal 30 Mei 2006 lalu. Kelima terdakwa ini Pidana penjara 1 tahun 6 bulan denda Rp 25 Juta Subsider 3 bulan kurungan. Kelima terdakwa ini juga diharuskan mengganti uang yang mereka terima. Sayangnya, nilai yang harus dikembalikan kepada negara itu selalu lebih rendah dari dakwaan Jaksa (lihat tabel).
Pada tanggal 17 Januari 2007 lalu, PN kembali memvonis 9 mantan anggota dewan periode 1999-2004, atas kasus korupsi ARTD ini. Sembilan eks dewan ini diantaranya, Sumarsono, Kukuh Wahyudi, Nanang Triwidya Purnomo, M Athok Illah Malik, Saiful Hidayat, Zainu Fuadi, Widjianto, Abdul Rokhman Ali, dan HM Djazuli Mustofa. Majelis hakim yang diketuai Sudarwin ini memvonis penjara 1 tahun subsider 3 bulan kurungan kepada kesembilan orang ini. Denda Rp 25 Juta juga dialamatkan kepada mereka. Lagi-lagi, uang hasil korupsi yang wajib dikembalikan terdakwa ini lebih kecil dari tuntutan Jaksa (lihat tabel).
Pengadilan Negeri Nganjuk kembali memvonis 9 mantan anggota dewan lainnya pada tanggal 27 September lalu. Supar Widiandono, HM Ashfiyak Hamida, Yuswandi, Sukarno Putro, Daryono, Djoko Suroso, Muh Nur Daenuri, Muchtar, dan Tego Sedyono yang disidangkan dalam satu berkas ini divonis penjara 1 tahun subsider 3 bulan kurungan. Yang membuat janggal, meskipun nilai yang didakwakan jaksa nilainya bervariasi, namun memukul rata jumlah uang yang harus dikembalikan Sembilan terdakwa, yakni Rp120,062,100. Tujuh diantara terdakwa, mengembalikan lebih kecil dari dakwaan Jaksa. Sementara dua diantaranya yakni Muh Nur Daenuri dan Tego Sedyono, harus rela mengembalikan Rp2,201,700 lebih besar dari dakwaan Jaksa (lihat tabel).
24 mantan anggota dewan yang telah divonis ini dijerat penyidik dengan Pasal 2 dan 3 UU No 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara. Sejauh ini, dari total uang korupsi anggota dewan senilai Rp 6,8 M, jika semua terdakwa yang divonis mengembalikan uang sesuai dalam putusan hakim, maka uang negara akan kembali sekitar Rp2,791,803,440. Namun, negara akan kehilangan uang dari selisih antara nilai dakwaan dan putusan hakim sekitar Rp 1,07 M. Dan jika 24 terdakwa yang telah divonis secara keseluruhan telah mengembalikan uang yang diputuskan hakim, maka uang negara yang masih belum jelas pengembalianya masih tersisa Rp 4,031,060,025 (lihat tabel).
Sementara dari data yang bersumber di Kejaksaan negeri Nganjuk, dari 45 mantan anggota dewan yang terlibat dalam kasus korupsi ARTD ini, masih ada tiga orang yang masih bebas dari jeratan hukum. Sementara kasus korupsi pejabat lainnya di Kab Nganjuk adalah kasus korupsi Otonomi Daerah (otda) yang melibatkan mantan Bupati Nganjuk Soetrisno R. Bupati yang dua kali menjabat pada periode 1998– 2003 dan 1999–2004 tersebut didakwa melakukan tindak pidana korupsi dana otonomi daerah (otda) Nganjuk senilai Rp1,03 miliar.
Dalam anggaran tahun 2003, Soetrisno dianggap telah mengeluaran keuangan dari beberapa pos anggaran yang dikategorikan sebagai tindakan korupsi. Pos anggaran yang menjadikannya berstatus terdakwa antara lain uang tali asih, uang dok LPjT dan pemberian uang muka pembelian kendaraan roda dua untuk 45 anggota dewan.
Pada akhir jabatannya, Soetrisno mengambil uang tali asih sebesar Rp 200 Juta untuk dirinya sendiri. Sementara untuk Djatmiko Budi Utomo, wakilnya, ia memberikan Rp 50 Juta.
Soetrisno juga nekat memberikan uang pelicin LPjT-nya senilai Rp 10 Juta kepada 45 anggota dewan. Ia berharap agar LPjT diakhir jabatannya itu tidak menuai protes dari dewan. Uang negara tersedot Rp 450 Juta karena kebijakan Soetrisno ini. Soetrisno juga memberikan angin segar bagi 44 anggota dewan dengan memberi mereka uang muka kredit sepeda motor sebesar Rp 7,5 Juta masing-masing anggota dewan. Negara terpaksa kehilangan Rp 330 Juta atas kebaikan hati Soetrisno terhadap anggota dewan ini.
Atas tiga kebijakannya itu, Ketua Jaksa Penuntut Umum (JPU) Heri Pranoto menjerat Soetrisno dengan Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 12 UU No 31/ 1999 yang diubah ke UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kursi persidangan di PN Nganjuk pun kerap dddatangi mantan orang nomor satu di Kab Nganjuk itu.
Dari persidangan yang beberapa kali digelar, pada pertengahan bulan April lalu Soetrisnomenghuni Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas II B Nganjuk. Di rumah barunya itu, Soetrisno sempat sakit-sakitan. Terhitung sejak menghuni rutan, dua kali Soetrisno menjalani pemeriksaan kesehatan di rumah sakit akibat komplikasi penyakit yang dideritanya.
Karena majelis hakim menilai Soetrisno berlaku baik dalam persidangan dan kooperatif saat menjalani menjawab pertanyaan-pertanyan hakim, statusnya diturunkan menjadi tahanan kota hingga sekarang.
Kalangan LSM setempat menilai jika proses hukum yang dilakoni Soetrisno ini tak luput dari ‘dendam’45 anggota dewan yang lebih dulu menikmati meja hijau. Disinyalir, kasus korupsi Soetrisno ini sampai ke PN setempat atas laporan beberapa anggota dewan yang kecewa dan menginginkan Soetrisno mengalami nasib serupa dengan mereka.
Kini nasib Soetrisno tinggal menunggu vonis hakim. Tanggal 10 Oktober kemarin, rencana sidang putusan atas tindak pidana korupsi yang dilakukan Soetrisno gagal digelar. Setelah hari raya, mantan bupati yang menjabat dua periode ini akan dituntaskan.
----Second------
Hakim Kesulitan Hadirkan Semua Saksi
24 terdakwa kasus korupsi ARTD Kab Nganjuk sempat membuat sejumlah hakim di Pengadilan Negeri setempat kebingungan. Dalam persidangan semua terdakwa, hakim harus ekstra kerja keras untuk memilah saksi-saksi yang dihadirkan dalam persidangan. Apalagi, saksi yang dihadirkan banyak yang berasal dari PNS, yang nota bene masih berkewajiban menjalankan tugas-tugas harian. Apalagi, sattu saksi bisa dihadirkan puluhan kali jika tanpa ada stratergi dari majelis hakim. ''Salah satun yang membuat proses persidangan lama adalah banyaknya saksi yang dihadirkan. Selain itu, yang banyak terjadi, satu orang menjadi saksi beberapa terdakwa,'' kata Kabul Irianto, Kepala Humas PN Nganjuk yang juga menjadi salah satu hakjim atas kasus ini.
Ia pun kemudian memilah kasus antar terdakwa, sesuai dengan besaran uang yang dikorupsi dan kewenangannya. Menurutnya, hanya dengan cara demikian pihaknya dapat me-running sidang tanpa harus berkali-kali menghadirkan saksi yang sama. ''Maka dari itu, 24 tersangka ini kita pilah menjadi empat berkas. Agar kami mudah untuk melakukan persidangan-persidangan selanjutnya,'' tegasnya.
Selain sulitnya menghadirkan saksi, dengan tenaga hakim yang hanya 8 orang, dirasa berat untuk menuntaskan kasus korupsi baik ARTD maupun otda yang melibatkan mantan Bupati Nganjuk Soetrisno itu. Untuk dua kasus besar ini, Kabul mengaku jika semua hakim kebagian menyidangkan semua terdakwa. Dengan tenaga 8 hakim ini dirasa belum cukup. ''Kendalanya juga dari minimnya jumlah hakim yang ada di institusi kami. Apalagi jumlah terdakwanya puluhan orang dan diajukan secara-bersama-sama,'' ujarnya.
Ia juga menegaskan jika pihaknya telah berupaya keras untuk segera menuntaskan dua kasus memalukan itu. Salah satunya dengan menggelar vsidang mulai hari Senin – Kamis secara berturut-turut. Itupun harus dilakukan dengan tanpa mengenal jam dinas. ''Jika saksi yang dihadirkan datang, semua terdakwa yang membutuhkan saksi tersebut bjuga menggelar seidang yang sama. Tak aneh jika kami menggelar sidang hingga jam 16.00,'' imbuhnya.
Sejauh ini urai Kabul, pihaknya masih memiliki 6 berkas yang masih menjadi tanggungan pihaknya. Meski begitu, ia tak menargetkan kapan 6 berkas ini akan diselesaikan, termasuk proses persidangan 24 terdakwa yang telah divonis dan mengajukan banding. ''Kami tak menargetkan kapan selesainya. Kami tetap akan berupaya menyelesaikan kasus ini secara cepat dan cermat,'' kata dia.
Meski kasus yang ditanganinya terkait dengan pejabat di Kan Nganjuk, namun ia mengaku sejauh ini tak sungkan dalam memutuskan hasil persidangan. Bahkan, demo yang pertama kali digelar salah satu masa terdakwa di kantornya itu tak membuat ia keder. ''Biasa saja, demo seperti itu wajar, karena memang terdakwa yang kita tangani rata-rata memiliki massa sendiri,'' ungkapnya enteng.
Dia sendiri mengaku jika selama mengawal kasus dua korupsi ini, tak pernah mengalami ancaman dari salah satu terdakwa yang ia sidangkan. ''Tak pernah, sama seperti menyelesaikan kasus lainnya,'' tambahnya.
Soal putusan hakim yang dinilai banyak kalangan masih ada nuansa 'tebang pilih', ia mengelak jika pihaknya melakukan hal itu. Menurutnya, sebelum hakim memberikan vonis kepada terdakwa, telah melalui banyak pertimbangan hukum. ''Meskipuin dalam kasus yang sama, perlakuakn terhadak terdakwa bisa saja berbeda. Banyak faktor yang mempengaruhi vonis. Kooperatif dalam persidangan, belum pernah melakukan tindakan serupa, dan pertimbangn lainnya. Kami sudah melakukan sesuai dengan prosedur hukum,'' bantahnya.
Pun dengan jumlah pengembalian uang hasil korupsi terhadap 24 terdakwa, Kabul juga mengelak jika ia masih pilih-pilih orang. ''Semua kami perlakukan sama. Namun, banyak hal yang membuat beda antar terdakwa, meski dalam kasus yang sama,'' terangnya.
Wabup Ditahan, Kinerja Eksekutif Tak Terpengaruh
Sejumlah kalangan masyarakat mengkhawatirkan adanya ketimpangan pemerintahan lantaran beberapa pejabat Pemkab Nganjuk yang tersangkut dalam dua kasus koupsi ini. Salah satunya adalah sempat ditahannya Wakil Bupati Nganjuk Djaelani Iskak pada 19 Juni 2007 lalu. Namun kekhawatiran ini dimentahkan pemkab setempat. Mereka beralasan jika saat Djaelani menghuni Rutan II B selama sekitar satu bulan itu, sama sekali tak mengganggu jalannya roda pemerintahan. Selain posisi Djaelani yang hanya menjadi orang nomor dua, kerja-kerja yang dilakukan Djaelani bisa digantikan beberapa stafnya. ''Pak Djaelani menghuni Rutan hanya sekitar 1 bulan. Itu bukan waktu yang lama. Dan posisi beliau tak begitu menentukan arah kebijakan Pemkab Nganjuk,'' kata Harijanto, Kabag Humas Pemkab Nganjuk.
Bahkan menurut Harijanto, saat wakil bupati yang sebelumnya menjadi Wakil Ketua DPRD Nganjuk ini menghuni Rutan, ia sama sekali tak melakukan aktivias kantor seperti biasanya. Meski begitu ia membantah jika tak hadirnya Djaelani selama sebulan dikantornya, akan berpengaruh pada kebijakan-kebijakan Pemkab Nganjuk. ''Nggak ada masalah sama sekali,'' tegas Harijanto.
Atas ditahannya Djaelani, mantan Bupati Soetrisnop dan beberapa pejabat yang berasal dari anggota DPRD itu, beberapa kalangan PNS di Pemkab Nganjuk sempat menyampaikan rasa malu terhadap publik. Pasalnya, sejumlah PNS khawatir jika publik memukul rata atas kinerja PNS di Kab Nganjuk, dengan budaya korupsi yang dilakukan secara berjamaah.
Salah satu sumber SINDO yang berasal dari kalangan PNS Nganjuk mengungkapkan, sejak pemberitaan kasus ARTD dan Otda yang dilakukan secara besar-besaran oleh media cetak dan elektronik, ia mengaku malu jika bertemu teman PNS yang berasal dari kab/kota lainnya. ''Jika saya ketemu teman sesama PNS dari kota lain, dia selalu nanya dengan mencemooh. ''Piye mantan bupatimu, sido dipenjara (bagaimana nasib mantan bupati kamu, apa jadi dipenjara)'','' ujar salah satu PNS yang minta namanya dirahasiakan ini menirukan pertanyaaan temannya.
Tak hanya itu, ia juga mengaku trauma dengan kasus korupsi berjamaah yang melibatkan pimpinan-pimpinan tersebut. Dikhawatirkan, Kab Nganjuk akan selalu identik dengan korupsi berjamaahnya. ''Siapa yang tak tahu kasus korupsi di Nganjuk ini. Jika kita mengaku dari PNS Kab Nganjuk, orang selalu akan mengingat kasus korupsinya,'' tandasnya sembari mengaku menyesalkan tindakan petinggi-petingginya tersebut.
Ia pun berharap jika kasus korupsi ini segera dituntaskan openegak hukum setempat. Pasalnya, ia tak ingin jika pemberitaan atas setiap perkembangan kasus korupsi ini terus dilansir media. ''Biar cepat tuntas, dan tak ada lagi media yang memberitakan setiap ada vonis terdakwa yang baru. Kami jadi risih juga,'' tukasnya.
Penegakan Kasus Korupsi di Nganjuk Dalam Kacamata LSM
Ditangani Bukan Karena Temuan, Tapi Desakan
Penangangan kasus korupsi di Kab Nganjuk yang dilakukan aparat penegak hukum setempat seakan menunjukkan betapa taring penegak hukum ini benar-benar tajam. Benarkah demikian.
Kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kab Nganjuk sendiri rata-rata telah memahami jika diseretnya puluhan pelaku korupsi ARTD dan Otda, tak lepas dari campur tangan LSM setempat. Bahkan mereka berandai-andai, jika saja tak ada LSM yang mendesak penuntasan kasus korupsi ini, niscaya para pejabat yang korupsi masih bisa berlenggang sampai saat ini.
Totok Budi Hartono, salah satu penggerak LSM yang tergabung dalam Forum Kabupaten (Forkab) ini mengaku, diseretnya puluhan terdakwa dalam kasus ARDT dan Otda, berkat kegigihan Forkab, yang memayungi puluhan LSM lainnya itu. ''Jika bukan LSM yang meraung-raung meminta agar kasus ini segera ditindaklanjuti penegak hukum, kami yakin kasus ini akan ditelan bumi,'' kata Totok
Bisa berkata demikian, Totok sendiri sejak awal mengeluhkan lemahnya respon Kejaksaan Negeri setempat terhadap laporan dan temuan Forkab terkait kasus korupsi ini. Bahkan, berkali-kali melapor ka Kejaksaan, pihaknya sama sekali tak mendapatkan tanggapan. ''Saat itu yang mnenjadi Kepala Kejaksaan Nganjuk adalah Wenny Gustiati. Surat yang kami kirim terkait temuan adanya korupsi, direspon lemah,'' cerita Totok.
Upaya untuk membawa kasus ini ke ranah hukum terus dilakukan Forkab. Bahkan saat upaya melalui nkejaksaan gagal, ia bersama puluhan LSM lainnya mengadukan hal ini kepada Kapolres Nganjuk, yang pada tahun 2003 lalu dipimpin AKBP Dunan Ismail Isja. ''Laporan kami ditanggapi. Dan Polres langsung melakukan pemberkasan,'' kenangnya.
Ia menilai, jika kinerja kejaksaan saat itu hanya mengandalkan hasil penyidikan yang dilakukan oleh Polres. Tak salah jika Totok menilai jika kejaksaan cenderung memilih yang gampang. ''Berkas masuk ke Kejaksaan adalah berkas yang sudah jadi. Kejaksaan hanya tinggal meneruskan saja,'' tambahnya.
Namun menurut Totok, sejak Kepala Kejaksaan beralih ke tangan Agus Prasetyo, kelanjutan hukum atas kasus korupsin ini menampakkan btitik terang. Alagi menurut dia, Kepala PN Nganjuk, Sudarwin, juga dianggap mampu menyelesaikan kasus-kasus ini. ''Barulah kami lega, satu persatu anggota dewan ditetapkan menjadi terdakwa,'' tukasnya.
Namun, Totok menilai sejauh ini dua lembaga hukum yakni Kejaksaan dan Pengadilan Negeri, terkesan lamban dalam menyelesaikan dua kasus korupsi ini. Dia lantas membandingkan kasus serupa yang terjadi di Kab Sidoarjo. Sementara di Kab Nganjuk, dalam kurung waktu dua tahun lebih, hanya separuh dari pelaku yang bisa dijerat. ''Aparat hukum Kab Sidoarjo saja, mampu menuntaskan kasus korupsi berjamaah juga, dalam waktu satu tahun. Disini hampir tiga tahun hanya mampu memvonis 24 terdakwa. Ini jelas lamban,'' tandas pria berkaca mata ini.
Totok dan beberapa LSM yang tergabung dalam Forkab, sebenarnya menyayangkan perilaku keras kepala dewan yang enggan menerima masukan terkait beberapa pos anggaran yang menyalahi PP 10 Tahun 2000 itu. Dituturkannya, sejak awal ia telah mengingatkan dewan agar meninjau kembali sejumlah pos anggaran yang saat ini menyeret mereka ke meja hijau itu. Himbauan itu malah berbuntut sikap tertutup dewan kepada sejumlah LSM yang dianggap vocal. ''Hearing yang kami ajukan, ternyata di tolak. Malah kami diajak untuk embahas ini diluar kantor. Kami tersinggung dan meneruskan kasus ini ke kepolisian,'' kenangnya.
Sikap acuh tak acuh dewan terhadap peringatan LSM inilah yang memicu semangat Forkab untuk meneruskan kasus ini, hingga ada yang dijadikan terdakwa dan terpidana. ''Semoga aparat hukum bisa jeli dan punya hati nurani untuk mengungkap siapa yang salah dan siapa yang benar,'' harap Totok mengakhiri wawancaranya dengan SINDO. (tritus julan)
1 komentar:
Mas punya sumber tentang kebijakan bupati Nganjuk dari tahun 1980-2008 gk? kalau ada q mintalah.thx
Posting Komentar